Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Angka Pernikahan Menurun Drastis, Bisa Saja Fenomena Waithood dan Childfree

13 November 2024   21:20 Diperbarui: 13 November 2024   21:26 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia bahwa angka pernikahan menurun drastis. Tercatat tiga tahun terakhir angka pernikahan tersebut mengalami penurunan sekitar 2 juta dari tahun 2021 ke tahun 2022 hingga ke tahun 2023. Apa penyebab menurunnya angka pernikahan tersebut menurun drastis? Mengapa angka pernikahan tersebut begitu rendah? Beberapa faktor internal dan eksternal tentu menjadi pemicu. Kondisi ini pula akan berdampak pada  angka kelahiran produktif, kriminalitas, kondisi psikologis, ekonomi, perencanaan pembangunan hingga dampaknya pada bonus demografi Indonesia di tahun 2045.

Wacana menurunnya angka pernikahan sangat memprihatinkan. Banyak kalangan menjadikannya sebagai topik perbincangan di ruang-ruang ilmiah untuk menelisik lebih dalam seperti apa akar permasalahannya serta solusinya seperti apa. Secara sosiologis dan psikologis memang pernikahan akan menjadikan boomerang bagi generasi milenial dan juga turut mempengaruhi generasi selanjutnya yakni generasi Z. 

Generasi milenial dan generasi Z meski memiliki paradigma dan fase yang berbeda dalam menghadapi kehidupan di era saat ini. Generasi milenial tentunya berada pada fase usia produktif dalam menjalin hubungan pernikahan. Banyak pula kalangan generasi milenial sudah melewati beragam kasus berumah tangga, atau menyaksikan di hadapan mereka. Sementara generasi Z masih dalam tahap pencarian jati diri atau berada pada usia remaja menuju dewasa. Dimana mereka tentu cenderung abai alias masih labil. Namun kedua kelompok dua generasi berbeda tersebut akan menghdapi situasi saat ini seperti kondisi menurunnya angka pernikahan, perekoniman dan sebagainya.  

Tekanan ekonomi di Indonesia akhir-akhir ini dan pasca covid 19 memang mengalami kontraksi pertumbuhan, perubahan rantai pasok dunia sampai pada faktor investasi asing ke Indonesia. Hal tersebut secara signifikan akan diperhadapkan pada generasi milenial yang sudah di fase dewasa serta di usia produktif. Satu di antara sepuluh orang dewasa memilih melakukan penundaan menikah atas pertimbangan ekonomi. Banyak di antara mereka berencana meniti karir, studi, mematangkan ekonomi hingga memilih menikmati kesendirian sementara waktu.  Situasi tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena waithood dan banyak di antara mereka merupakan kalangan perempuan. Perempuan lebih dominan dalam fenomena waithood dibanding laki-laki. 

Istilah waithhood pertama kali dipernalkan oleh Prof Siane Singerman dari Amerika Serikat di tahun 2007. Istilah tersebut kemudian melekat pada kalangan milenial yang mengalami kondisi yang sama seperti dijelaskan di awal yakni keputusan untuk menunda melakukan perikahan. Sebab bagi kelompok tersebut bahwa menikah tidak hanya seks semata, keturunan, kecocokan, dan sebagainya. Tetapi bagi sebagian individu bahwa keputusan sebelum menikah sebaiknya memiliki rumah, persiapan dana darurat, kendaraan, tabungan, karir, hingga hal-hal lain yang turut mempengaruhinya sebut misalnya kondisi sosial dan psikologis.

 Selain dari fenomena waithood yang dilakukan oleh kaum perempuan bahwa angka pernikahan juga disebabkan atas adanya fenomena childfree. Childfree merupakan istilah yang sering digunakan oleh individu tertentu yang tidak ingin memiliki keturunan. Hanya saja Childfree terkadang terjadi dalam dua situasi yakni situasi sebelum menikah dan situasi setelah menikah. Childfree ini biasa terjadi di kalangan orang tertentu seperti selebritis, wanita karir ataupun orang-orang yang memiliki kondisi traumatis dengan situasi keluarga yang memiki anak. Kedua istilah tersebut memang berbeda tetapi dapat diasumsikan bahwa menjadi pengaruh atas minimnya angka pernikahan. 

Kedua fenomena tersebut sangat bertalian dengan aspek ekonomi. Olehnya itu, perlu ada kebijakan pemerintah terkait penanganan fenomena yang sedang menjadi perbincangan yakni menurunnya angka pernikahan. Kebijakan pemerintah nantinya sedikit demi sedikit dapat memberikan edukasi masyarakat bahwa menikah di usia produktif tidak begitu menakutkan. Perlu ada edukasi dari kalangan akademisi, dokter, pemerintah dan pegiat sosial yang dapat memberikan pemahaman masyarakat kita atas dampak dari keputusan untuk menunda pernikahan atau untuk tidak memiliki anak. Meski keputusan tersebut merupakan keputusan individual yang dilakukan secara sadar.

Selanjutnya bahwa kondisi pernikahan yang saat ini cenderung memiliki gejolak, goncangan, serta kondisi ekonomis yang sangat memprihatinkan pada dasarnya adalah proses kehidupan. Namun proses kehidupan tersebut sedikit banyaknya dapat pula berubah tergantung lingkungan yang sehat, edukasi yang baik serta peran pemerintah. Peran pemerintah tidak hanya berlaku pada hal-hal yang mengedukasi untuk melakukan pernikahan tetapi yang lebih penting pula adalah edukasi bagi calon pengantin yang sudah memutuskan untuk menikah serta edukasi dan pendampingan bagi yang sudah menikah alias kelompok rumah tangga baru. Sebab satu rumah tangga saja yang bermasalah akan mempengaruhi rumah tangga yang lain, hingga dapat pula mempengaruhi kestabilan suatu kelompok yang lebih besar hingga negara".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun