Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kujumpa

10 November 2024   14:38 Diperbarui: 10 November 2024   14:39 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Arni. Kujumpa pertama saat ospek mahasiswa baru. Kedua kalinya saat ia tertidur di parkiran kampus, sepertinya ia kelelahan. Kujumpa ketiga kalinya saat ia urus administrasi akademik, sementara aku anak magang di kantor itu. Kujumpa keempat kalinya saat lomba debat bahasa Inggris tingkat wilayah. Aku yang anak magang kasus seperti ini adalah pekerjaanku. Aku ditugaskan mendampingi mahasiswa saat berkegiatan di luar kampus, termasuk dititipi uang jajan, transpor, hingga uang pulsa untuk dokumentasi kegiatan mahasiswa. 

Sepulang dari lomba tingkat wilayah itu, kami berpisah dari rombongan di pertigaan jalan tol Pettarani Makassar lantaran macet beruntun. Sepertinya ada demonstrasi besar-besaran pra perayaan Hari Buruh Internasional. Aku ajak ia ikut mampir minum es teler Panaikang samping kuburan Panaikang tepat berhadapan dengan taman makam pahlawan jalan Panaikang, sebagai salah satunya jalan protokol penghubung kota Makassar dengan kota Maros. Wajar jika di ujung jalan Pettarani macet parah, karena hanya ada dua jalanan menuju ke luar kota yakni jalan Panaikang dan jalan tol. 

"Aku yang bayar". Ajakku pelan kepadanya. Tempat ini memang rest area pengendara motor selepas dapat macet di pusat kota ini. 

Ia tak bisa berkata-kata. Baik sekedar terima kasih ataupun kata-kata penolakan atas ajakanku siang itu. 

"Ingin nambah, silahkan! Ini es teler favorit saya di kota ini. Namanya sangat dekat dengan ritual di kampung halamanku".

Aku kembali membuka percakapan setelah beberapa lama kami terdiam menikmati sajian es teler itu.

Ambulance lalu lalang di jalan Panaikang dari arah jalan Perintis itu. Kadang berpapasan dengan pemadam kebakaran, atau dengan demonstran bahkan pula kadang terhadang dengan rombongan supporter sepak bola jika di musim laga di kota itu. Kami berdua tidak perduli dengan suara bising itu. 

Aku terus memandangi mukanya yang polos. Entah apa yang ia pikirkan, apakah karena tidak masuk sepuluh besar di ajang lomba bahasa tingkat wilayah itu. Atau karena absen di perkuliahan. Memang ada satu kelas yang sangat menyenangkan bagi mahasiswa Sastra Inggris di kampus kami. Dosennya supel,banyak referensi, paham semua kondisi perpolitikan di luar negeri, wacana kekinian di dalam negeri, dunia sastra di luar negeri, industri kreatif, hingga hal-hal receh tang sering diungkapkan penulis kenamaan dalam karyanya. Bapak itu dosen penerjemah karya sastra handal. Ia dosen yang dirindukan mahasiswa. 

Penjual es sangat senang dengan kemacetan. Banyak orang yang mampir menepi menikmati suasana santai di atas pekuburan. Seakan minum es sembari wisata religi. 

"Kematian membututi bagi siapa saja yang bernyawa, ia selaksa air es yang mencair dari gunung es di kutub, tak bisa dibendung sebab ia akan menyatu kembali dengan alam" barisan penjual es teler Panaikang Makassar. 

Macet semakin bertambah saat rombongan mobil kompi polisi pasukan anti huru hara datang ingin membubarkan demonstran. Penjual es semakin untung. Kami seakan tergusur atas ramainya pengunjung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun