"Rijal! Ada apa kau membandingkan aku. Ini tahun ke berapa masehi Jal? Aku sungguh lupa waktu lama sekali aku tertidur. Ada apa gerangan?Â
Sebenarnya ia sudah tahu maksudku sebelum aku bicara. Ia sangat sakti pastinya. Tapi biarlah aku bicara sekali lagi.Â
"Maaf tuan! Aku tidak mewakili kaumku. Aku datang atas rasa penasaran. Kenapa monyet-monyet itu keluar dari hutan. Mohon maaf atas kelancanganku. Mohon petunjuknya paduka raja. Aku hanya ingin mendengar petuah darimu".
"Baiklah Rijal! Monyet-monyet itu keluar lantaran di hutan sudah kurang nyaman. Sudah kurang makanan hutan. Rumah monyet juga sudah tertebang".
"Oh begitu rupanya"
"Ditambah lagi saat mereka keluar hutan, mereka malah diberi makan. Jadi begini Rijal biarlah mereka bermain-main dengan kaumku. Tapi ingat jangan menghinanya. Jangan pula kami dijadikan tempat sedekah dan tempat sampah"
"Maksud Anda tuan?"
"Iya, mereka seolah-olah bersedekah dengan memberi makan kepada monyet-monyet. Padahal masih banyak manusia kota yang butuh makanan. Mereka juga jadikan jalanan sebagai tempat nyampah".Â
"Begitu rupanya, aku akan catat itu tuan. Silakan dilanjutkan istirahatnya. Mohon maaf dan terima kasih".
Begitu mentari terbenam aku langsung menutup percakapan itu. Dan aku pamit tanpa menoleh sekali pun. Aku melaju keluar dari hutan sembari memotret orang-orang yang sedang bersenang-senang melihat monyet-monyet teriak kegirangan.Â
Hujan belum berhenti. Orang-orang yang lalu lalang malah berhenti setiap ada monyet yang menanti makanan. Cuaca sore itu membuat mereka semakin lapar.Â