Sri menunggu lonceng sekolah itu berbunyi di jam istirahat pertama. Sementara Bagas, sedari tadi menunggu di pasar Belanga. Mereka janjian ke rumah dukun itu. Kali ini sudah dua kali kecolongan. Bahkan perutnya sudah hampir membesar. Kalau yang pertama saat ia masih kelas 1 SMP semester kedua baru terbilang telat 3 bulan.
Bagas semakin gemetar, sebab kata dukun semalam bayarannya gede. Bahkan telat 1 bulan biayanya 1 juta. Jadi jika telat 4 bulan 3 minggu bayarannya 4,3 juta. Ia kebingungan mencari sumber dana. Sementara honornya jadi petugas KPPS belum juga cair. Itupun belum menutupi biaya aborsi. Ditambah lagi biaya pengobatan pacarnya pasca aborsi tentu ia akan meriam berhari-hari. Ia juga harus bayar temannya di kelas untuk membantu mengerjakan PR yang tertinggal.
"Sri! Kamu di mana cinta? Tante sudah menunggu, suaminya juga sudah menggali kuburan untuk anak kita, hurry up sayang"
"Wait honey! Aku ketemu ibu di angkot nih!"
"Jadi gimana?" Bagas tambah ketakutan.Â
"Siapa suruh pacaran sama anak ABG. Dia kasih hamil pula, dua kali pula" ngomel si dukun kepada suaminya saat setelah dapat uang panjar.Â
Tiga puluh menit kemudian Sri tiba tepat di sudut pasar Belanga. Ia langsung menelpon Bagas sembari sembunyi-sembunyi.Â
"Honey, where are You?" Aku di sini di belakang angkot biru, jaket biru muda yang kau belikan saat ulang tahun kemarin.Â
Ia nampak sembunyikan perutnya dengan tas serta jaket biru muda itu.Â
Bagas perlahan melangkah ke depan , ke arah Utara. Kurang lebih 7 rumah panggung dari ke Utara sebelah kiri, di situlah rumah si dukun. Ia memberi signal kepada Sri agar jalan terpisah dan ketemu di sana.Â