Aku melihat bulan itu muncul dari ufuk tenggara, tak lama setelah pelangi di senja bersama bidadari berkemas, lalu aku berkemas menyambut dengan suka cita, tubuhku begitu lemas, bukan pura-pura lemas, tapi aku tak sanggup melihat ibu sedang bergegas, seakan terburu-buru di dapur dengan ikat mengikat buras, lalu dimasak tidak dengan kayu bakar tapi dengan kompor gas, sembari menunggu panggilan dari anak-anaknya yang masih di rantau, memang niatnya ingin mendulang emas, tapi bertahun-tahun hanya saling memandang di layar.Â
Anak-anak tetangga dengan  wajah penuh rias, mereka menyambut, bersahutan di balik cahaya, bulan di ufuk tenggara tersipu-sipu malu olehnya, genderang dan pawai obor mengelilingi arah sinaran cahaya rembulan di malam itu, mungkin di negri sana merencanakan pagi, lalu saling memandang, saling khusyuk membelakangi cahaya sang fajar, kita di sini ingin bersih dari noda layaknya cahaya-cahaya yang bersinar, mata orang-orang berbinar-binar, tak ada yang merasa benar, semua saling memaafkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H