Gen Z dikenal lebih apatis dibandingkan dengan generasi milenial. Mereka bahkan cenderung menutup diri dan introver dari hal-hal politik. Kecenderungan mereka adalah bagaimana sesuatu hal memberikan kesenangan dan berdampak dalam circle mereka.Â
Di sisi lain, bahwa para caleg yang akan bertaruh dan merebut suara pilih maka akan berupaya semaksimal mungkin tampil. Mereka akan mengoptimalkan berbagai potensi yang dimiliki. Demikian memanfaatkan berbagai medium agar orang tertarik padanya lalu memilihnya nanti di pilcaleg 2024.
Jika para caleg memaksakan diri untuk berterima di kalangan gen Z maka akan ditolak mentah-mentah. Lalu mereka harus bagaimana?Â
Mungkin saja perlu ada survey serta pelibatan diri mereka ke dunia gen Z. Melihat lumbung suara dalam pilcaleg nanti adalah suara gen milenial dan suara gen Z dibanding suara pemilih umur 50an ke atas.Â
Sementara jika mereka menggaet pemilih di umur 50an ke atas hal tersebut membutuhkan jaringan kepartaian, jaringan organisasi, jaringan ideologi serta jaringan kerja atau bisnis. Pemilih di umur tersebut akan bertransaksi atau lebih transaksional. Misalnya saya memilih kamu, tetapi setelah terpilih posisi saya apa, dan sebagainya.
Hal ini berbeda dengan gen Z yang kebutuhan mereka sederhana. Bagaimana bisa happy, healing dan Googling.Â
Olehnya itu, para caleg harus lihat untuk memanfaatkan media promosi, media kampanye sesuai kecenderungan gen Z. Rasanya gen Z tak perlu banyak baliho, flier dan sebagainya. Tetapi siapa yang populis di media mereka maka itulah yang dianggapnya mewakili komunitas dan kecenderungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H