Di pantai indah ini, kita saling memandang, bergandengan tangan, berlarian kesana kemari.
Sepoi angin pantai mengurai rambutku, lalu kau turut menghelai yang acak-acakan. Aku memandangi bola matamu yang jernih itu, lalu keduanya menatapku.
Istana-istana kecil yang kita bangun sejak pagi, ia terbasuh oleh pasang air laut, dengan ombak silih berganti, ia seakan tak paham maksud kita, biarlah.
Biar saja ombak itu membawa kisah kita dalam istana pasir itu.Â
Aku berusaha mengajakmu masuk ke air seolah olah ingin mengejar ombak tadi, kau pun ikut berenang ke tengah, seakan-akan akulah penjaga pantai untuk siapa saja yang berenang ke tengah. Kau tak pernah sedikitpun takut akan ombak dan masa lalu. Bagimu adalah masa depan, bagiku kaulah esok hari yang membersamaiku menyaksikan sunset di pantai dan sunrise di rumah kebun kita nanti.
Kuingin rasanya berjemur di tepian hingga baju kita mengering. Kuingin rasanya meminum sari Patih tanah yang manis-manis bersamamu lalu pura-pura tak mendengar seruan penjaga pantai.
Semua mata tertuju ke kita, padahal kita hanya mencoba menafsirkan anugrah tuhan dengan sederhana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H