Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Licinnya Kelapa Sawit

24 September 2023   17:57 Diperbarui: 24 September 2023   20:40 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelapa sawit, sumber; pajak.com

*** 

Hari ini Pardi dapat kabar lewat surat dari pekerja baru yang datang kalau saja ibunya meninggal Duni sebulan lalu. Ia diminta untuk pulang menziarahi kuburan ibunya dan juga diminta membayar biaya kematian mendiang ibunya. Konon di Belanga bahwa biaya kematian juga terkadang cukup tinggi, bahkan biasa mencapai 10 jutaan. Biaya penguburan 1 juta, perlengkapan mayat 700 ribu, biaya pengajian dari hari pertama hingga hari ketujuh mencapai 3 jutaan, biaya 7 hari yakni pemasangan nisan dan biaya makan tamu undangan (sudah termasuk 1 ekor sapi) yakni 7 jutaan. 

"Terkadang ada anekdot bagi perantau dari Belanga bahwa tolong jangan meninggal dulu bagi orang tua kami sebelum anak kamu ibu sukses di Tawau".

Delapan tahun setelah perantauan Pardi, dalam artian baru saat ini ia berumur 19 tahun dan ia harus kembali ke negaranya.

"Selamat datang di Belanga, selamat datang di ibu kandung Belanga". 

Tibalah Pardi di tangga pertama rumah tua itu yang dibangun oleh rumah tangga Pandu dan Jumi binti Hardi. Ia memeluk erat tangga demi tangga, hingga menggapai tangga keduabelas. Selepas ia menangis dan disaksikan oleh kerumunan para orang kampung, ia lalu diantar ke kuburan tepat di belakang rumahnya. 

Pak imam Belanga ikut menuntunnya ke kuburan ibunya. Demikian tradisi di sana jika seseorang ingin ke kuburan pertamakali maka harus ditemani oleh orang pintar dalam bidang agama. Agar yang bersangkutan tidak berbuat konyol, menangis tak henti hentinya atau hal lain yang sifatnya mencelakakan dirinya. Pak imam membiarkan Pardi menangis lalu ia berikan nasehat bahwa ibumu telah kembali dengan tenang. Selama ini ibumu belum tenang semasa hidupnya. Konon ia memikirkan banyak hal, sekolahmu yang tidak tamat, pernikahanmu kelak, warisan ibu ayahmu yang tak begitu banyak. 

Langkahnya begitu berat meninggalkan kuburan ibunya yang mana nisannya hampir berlumut setelah setahun terkena hujan, kemarau dan hujan lagi. Kakinya berlumpur, tangan kanannya memegang tongkat sementara tangan kirinya memegang patung hitam untuk memayungi pa Imam yang sedari tadi mengaji di depan nisan dan masih saja terkena tempias rintik hujan.

"Sesampai di tanah air, tinggallah setahun dua tahun, calo kamu sedang tertangkap di perbatasan Kalimantan, teman-teman kamu di sini terjebak di hutan mungkin bertahun-tahun hingga pemilu di Malaysia usai, ada sedikit upah kamu sudah ditransfer, mungkin cukup untuk biaya nikahan di sana, selamat berjumpa dengan keluarga, doa terbaik buat ibumu. Salam dari mandor Cang, di Tawau". 

Kini ada dua surat di genggaman Pardi, satu adalah surat info dukacita dan satunya surat pemberhentian kerja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun