Entah sampai kapan hatiku membatu, katamu tanpa ragu, lalu aku merayumu, sebab aku sendiri tak tahu, batu dari gunung yang mana menimpaku, ataukah batu cadas putih dari sungai yang keruh.
Bagaimana mungkin aku mengenal Tuhanku, katamu itu membuatku membisu, aku masih keliru, melihat ke dalam, mencari di urat nadi yang mana tidak terhubung, ataukah pada bagian organ mana tak merasa.
Aku keliru mencintai orang yang telah menyerahkan segalanya kepadaku, ucapmu di malam itu, saat ubunku tak lagi dingin karena cuaca kemarau, tapi karena ketar ketir mencari tahu sendiri atas tingkahku yang lalu-lalu.
Janjiku dulu yang tak pernah kau tagih, kini tertumpah ruah di atas huruf-huruf yang kaku, entah di huruf mana aku menyimpan rahasia, entah di buku mana tercatat semua, katamu dulu kau ucap dengan lantang di depan pintu itu, puluhan pasang mata telinga ikut mengiyakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H