Aku teringat nyanyian nenek setiap awal malam di musim kemarau. Suaranya parau meninabobokan anak cucunya dengan mendongeng.Â
Angin kemarau itu pula yang dirindukan oleh ibuku, kata nenek kami mulai menangis saat musim panen padi tiba. Sembari menangis orang- orang malah menertawakan kami. Tanpa awal dan akhir, nenek terus mendongeng hingga kami lupa rasa rindu kepada ibu kami.Â
Ada cicak yang jatuh nenek tak peduli ia terus merubah suaranya kadang cekikikan kadang ketakutan, kadang pula gigi emasnya terjatuh yang kami kira itu bagian episode yang sengaja dibuat agar kami paham bahwa jika kamu tua nanti rezekimu tak kan lari meski kau kejar nasibmu tidak berubah meski kau ingin selama tak wujudkan ingin itu.
Bergantian kiri kanan tangan nenek memukuli nyamuk di paha dan bahu kamu, kami kira nenek bukan pembunuh. Ia tega ingin bunuh binatang jalang itu padahal ia sudah tahu umurnya hanya seminggu. Betul nenek tidak membunuhnya, ini hanya bagian episode dongeng, suara nyamuk masih ada di bilik kelambu. Aku bukan pembunuh kata nenek tertawa, kalian juga jangan pernah membunuh meski waktu sekalipun.Â
Burung-burung malam bersahutan di atas pohon. Kami pura pura tertidur, ingin mendengar akhir dari kisah nenek yang seakan tidak punya awal. Padahal semua huruf bisa jadi awalan dan akhiran termasuk huruf-huruf dalam rongga mulut nenek yang tak jelas hidup atau mati. Tak ada lagi suara kentongan mungkin saja kami menunggu suara dari surau atau suara ayam jantan yang di keroyok waktu. Nenek tersandar pada dinding dongengnya, ia tak sadar kalau kami menunggu ia sebut awalan dan akhiran nama ibu kami.
Tak hanya Malam itu, kami terus mengigau sebab kami ingin dongeng nenek tak usai sebelum ia selesai menyebut huruf tengah dari nama ibu kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H