Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rorowati dan Kisah Hidupnya

25 Juli 2023   11:15 Diperbarui: 29 Juli 2023   19:43 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rorowati, dokumentasi penulis 

Rorowati kini beranak pinang. Anak-anak generasi pertamanya pun sudah dewasa bahkan tiga di antaranya sudah beranak pula di semester awal kemarau ini yakni Nyai, Kiky, dan Cempreng. Anak-anak generasi keduanya pun sudah hampir remaja mungkin setelah semester kedua kemarau tahun ini.

 Rorowati dikenal dengan sosok ibu penyayang kepada anak-anaknya, baik hati suka berbagi makanan ataupun tempat tidur. Ia penyuka kepala ikan serta jagung kuning. Meski tubuhnya kecil tetapi selalu sigap dikala ancaman datang sehingga berada di sekitarnya siapapun akan merasa aman. 

Rorowati merupakan generasi kedua dari Inyo. Ia salah satu yang bertahan hidup atas situasi pandemi karena Covid-19, demikian beberapa kasus lain yang pernah dilewatinya. Ia merupakan keturunan dari Cundekke sekawan. Ia dulu dititipkan oleh pak Marbot Masjid Belanga kepada Sumanga. Namun saat beranjak dewasa ia terdampak racun binatang. Sekelompok perampok melakukan aksi peracunan massal kepada anjing-anjing di kompleks perumahan Griya Belanga Asri. Aksi itu dilakukan untuk melancarkan rencana perampokan besar-besaran, jadi tak ada suara gonggongan nantinya saat bulan Ramadhan tiba. Cundekke memakan sisa roti putih yang telah ditaburkan racun. Meski badannya kuat dan kekar tapi tak bisa melawan kerasnya dosis racun tersebut. Ia mati bersama ratusan ayam dan 120an anjing-anjing penjaga kompleks. 

***

"Begitulah manusia yang berhati binatang, selalu menjadikan binatang jadi anjing percobaan"

Hari ini Rorowati terpaksa harus berpisah dengan tuannya, anak-anaknya, saudaranya, kediamannya serta lingkungan yang menerimanya. Sumanga akan keluar pulau pekan depan selama beberapa bulan, anak-anak dan istrinya harus dicarikan tempat aman yang jauh dari gangguan, hinaan dan bulian tetangganya. Bersama Sumanga saja masih dihina tiap hari dengan cara diludahi tiap melintas atau berpapasan dengan tetangganya, anak-anaknya pun dilempari batu seakan-akan mereka pengganggu, hewan piaraannya pun juga sering dilempari atau bahkan dikubur hidup-hidup oleh anak tetangganya. 

Kekeringan pun melanda kampung Belanga, tak ada lagi alasan untuk bertahan di kompleks itu. Dulu masih bisa menahan diri di rumah tanpa perlu mondar-mandir melintas depan rumah tetangga yang usil itu. Tapi kini sejak kompleks itu dijadikan tempat bisnis gelap alias segala aktivitas di dalamnya tanpa sepengetahuan pemerintah desa. Air sumur bor lenyap tiba-tiba, sementara sudah puluhan tahun air PDAM belum diusahakan oleh pihak RT setempat. Pemerintah setempat hanya sibuk urus masjid lantaran honor imam masjid lebih gede dibanding jadi RT. Alias hanya sibuk ibadah akhirat tanpa mengurus warganya kesusahan dan suka mengganggu tetangganya.

Rorowati harus membagi diri dengan anak-anaknya beserta saudara-saudaranya lantaran rumah kos-kosan istri Sumanga nantinya sangat sempit. Itupun tidak diperbolehkan membawa hewan piaraan. Rorowati pun memutuskan dengan bijak; Wahid si jantan harus terbeli oleh passawung (orang yang suka mengadu ayam jantan dengan cara berjudi) demi menambah biaya sekolah anak Sumanga, Kiky beserta telurnya harus terbeli oleh pemilik kedai kopi susu telur di pasar Belanga sebab Sumanga punya tagihan listrik yang harus dibayar, anak bungsunya harus di rumah penitipan hewan sementara, dan Rorowati sendiri beserta saudarinya harus ke rumah nenek Sumanga di Bilangan Utara ia sementara jadi jaminan pula jika tidak bertelur dan beranak dalam dua bulan di awal kemarau ini terpaksa harus tersembelih. Tentu disembelih dengan penuh kebinatangan.

Di awal malam itu, bulan sedikit cemberut turut bersedih menyaksikan peristiwa keberangkatan mereka. 

"Di mana ada pertemuan di situ ada perpisahan, bahkan setiap yang bernyawa pun kelak akan mati, mati terhormat di tangan tuannya, tersembelih lantaran kalah taruhan atau terbeli lantaran tak bisa apa-apa lagi. Kematian memang selalu berdiri tegak saat semua terlihat lesu, bahkan saat kita keluar dari cangkang maka kematian itu sudah ada di urat leher, hanya saja kita menunggu giliran atas nasib yang kita jalani. Demikian nasehat di malam itu dari Rorowati untuk kawanannya sebelum semua terbagi-bagi.".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun