Langit di sore itu membawa cahaya di beranda, aku menyaksikan orang-orang kantoran pulang membawa letih tak hanya karena pekerjaan tetapi juga karena jalanan begitu penuh, sesak dan berdebu. Satu di antara pengendara, rupanya datang menemuiku, kami sama-sama mencelupkan amarah dalam gelas kopi hangat, aku turut merasakan riuh kendaraan yang menjadi keringat di halaman depan rumah.
Tentang lelaki di sore itu, rupanya datang membawa kabar, atas dirinya penuh dengan kewanitaan dari negeri yang jauh di seberang pulau, tempat rajaku dulu diasingkan.Â
Ia mengelus dada melihat bunga-bunga kekeringan, wanita betul rupanya dia dalam hatinya. Katanya ia ingin hujan setelah mengelap keringat di bulu-bulu dadanya dan juga pada hidungnya yang mancung itu. Sepertinya dia peranakan Buton dengan Belanda yang tak menyimpan dendam pada penjajah. Sementara diriku penuh dengan amarah.
; Sepertinya kau juga butuh hujan seperti jalan raya, atau embun saja untuk mendinginkan ubunmu Ming.
Tubuhku remuk dan kaku saat tanyanya kepadaku atas hujan atau embun itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H