Mungkin saja kita tak sengaja menyibukkan diri kita atas ingatan masa lalu, hingga lupa membaca sajak kenangan. Sejak di masa kecil dulu, sajak-sajak itu tak pernah keliru. Karena ia adalah ingatan yang selalu terngiang di pikiran, bahkan usianya sudah puluhan tahun lamanya. Sajak itu kita pakai bermain rumah-rumahan di bawah pohon. Sembari memandangi orang dewasa menggambar ayah, ibu, adik dan kakak menghadap ke gunung. Lukisan itu pun tersimpan di atas buku tua.
Sajak kenangan itu samahalnya ibu kandung, ia selalu dirindu, dinanti, selalu dieja namanya. Sajak kenangan itu ibaratnya rumah, tempat kembali pulang, rumah yang menerima siapa saja yang pergi tanpa menagih janji. Sajak kenangan itu mungkin saja kampung halaman, di setiap halamannya ada tanda baca, yang mengajarkan kita mengeja huruf dari nama tetangga, nama lorong, warna rumah, hingga nama kepala desa dengan kumisnya melekat tebal, nama pak RT dengan perhatiannya hingga halaman rumahnya pula jadi rumah kedua siapa saja bagi warga, rumah pak Imam dengan kopiah hitam yang tak pernah pisah dari kepalanya. Sajak kenangan itu biarlah jadi masa lalu yang selalu mengenang apa yang terngiang, sebab itu hal baik yang telah tertanam.
Pagi ini sajak kenangan itu telah kutelan bersama kopi, sedikit pahit dan manis. Pagi ini huruf sajak kenangan itu keluar dari lembaran buku mencari-cari kenapa hanya sedikit yang kau tanam di bulan juli ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H