Di malam hari selepas hujan sore, tak ada bintang tak ada bulan, di kertas kalender tak ada warna merah, si sulung pun tetap Sekolah esok hari padahal ujian sudah usai Minggu lalu. di atas meja tamu hanya ada hitam putih layaknya meja catur. Cerutu sudah la nima tidak mengisapnya, sejak musim penghujan di awal perayaan hari jadian kami. Kopiku sudah hampir habis tak tersisa, mantan pacarku memang meraciknya dengan penuh cinta.
Lampu listrik padam, ikut menambah keheningan malam, sedikit gerimis kembali tiba di awal malam padahal tak ada prediksi hujan, Istriku besok ke pasar, ikan pasti murah meriah. Lampu mercusuar kedap kedip sinarnya lalu lalang, seakan mencari, ada yang hilang. Jangan bilang cuaca yang tak bersahabat,  malam enggan beranjak sebelum semuanya usai, tanpa ada prediksi lagi.
perjamuan malam tetap lanjut, meja dan kursi tak perduli rencana esok hari, cerita masa lalu selalu menarik untuk dikenang, buah berduri tetap menusuk, buah manis seakan menekan amarah, ditelan manis tanpa saringan, suka duka dunia selalu dua sisi yang berbeda. Suara sirine malam di sudut lorong-lorong kembali berbunyi seakan mengusir perjumpaan malam itu, para perindu malam akan tidur pulas lantaran taman mereka sedikit basah dari hujan sore dan gerimis malam, pantas saja kentongan dibunyikan berkali kali. Padahal setiap malam tidak akan kembali di esok harinya,bahkan hanya jadi bagian cerita bagi yang merahasiakannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H