Kepala Sekolahku Dulu (bagian 1; Taman Kanak-Kanak)
Selasa pagi ini yang cerah, Sum Sum membuka album penamatan sekolah. Memang setiap pulang kampung saat lebaran Idul Fitri ia selalu membuka album, entah foto masa kecilnya yang tersimpan bersama map coklat itu, album penamatan sekolahnya dulu hingga album foto pernikahan mereka dua belas tahun silam. Yah, mendiang Ibunya dulu memang rajin menyimpan foto kenangan anak-anak nya. Tidak banyak sih cuman satu dari tiap penamatan. Itupun ia beli atau bayar ganti rugi biaya cuci cetak di studio Sinar Warna Terang.
Sum-sum tiba-tiba teringat kepala sekolahnya dulu di taman kanak-kanak. Kepala sekolahnya yang ramah itu. Keramahannya hanya beda penyebutan dengan namanya yakni ibu Rahmah, sering di sapa puang Rahma. Ya semua guru sekolah disapa puang, demikian budaya di Belanga bahwa siapa pun yang berpakaian dinas entah honorer atau guru PNS, entah tukang kunci alias Bujang sekolah atau bujang kantor maka ia disapa puang. Meski ia kepala desa atau camat jika tidak berseragam layaknya PNS maka tidak disapa puang. Anak-anak sejak kecil diajarkan menyapa puang kepada siapa saja yang berdiri di depan mereka saat di waktu sekolah dengan pakaian dinas tadi.
Keramahan puang Rahma terbawa hingga di lingkungan masyarakat. Di pasar pun ketemu dengan siapa saja ia pasti menyapanya. Di pesta pernikahan pun demikian jika ketemu siapa saja termasuk orang tua murid pasti disapanya. Bahkan pernah sekali antri di depan toilet umum di pasar Belanga, saat ia kebelet pun tetap menyapa ibu-ibu dan para penjual ikan basah dan ikan asap. Â
Di balik keramahan kepala sekolah tersebut, Sum-sum masih ingat betul bagaimana para murid diperlakukannya di sekolah dan di lingkungan masyarakat. Setiap anak yang malas makan pasti ditakut-takuti bahwa kamu akan dilapor sama ibu guru Rahma. Seketika itu pula anak tersebut langsung menelan habis-habisan makanan yang disuapinya. Setiap anak yang menangis pasti diancam pula bahwa akan dilapor sama puang Rahma. Terlebih jika memang ia tidak ke sekolah 6seharian dan tiba-tiba ketemu dengan puang Rahma di jalan pasti anak tersebut ketakutan. Entah apa yang membuat anak-anak ketakutan dengan sosok Puang Rahma ini.
Namun di antara anak-anak TK seusia Sum-Sum kala itu, dia lah yang paling menderita sebab rumahnya sangat berdekatan dengan Puang Rahma. Hidupnya Sum-Sum terasa menegangkan, akhirnya ia trauma hingga di usia dewasa.Â
Anak-anaknya pun ia larang masuk sekolah TK. Namun istrinya bersikeras bahwa TK saat ini sudah bagian dari perjalanan pendidikan anak. Bahkan sekelas PAUD pun sudah layaknya wajib bagi anak usia dini, terlebih TK akan sangat memalukan orang tuanya jika anaknya tidak disekolahkan di TK baru lanjut duduk di bangku kelas satu SD. Malunya orang tua saat hari pertama sekolah anaknya di SD tentu akan menjadi bulian dari guru SD dan ibu ibu lainnya, terlebih di masyarakat di kelompok pengajian ibu-ibu atau di kelompok penggerak orang tua akan mendapat diskriminasi sosial jika anaknya tidak disekolahkan di TK baru sekolah di SD.
Sum-Sum selalu saja teringat masa-masa kecilnya yang tidak bahagia itu. Jangan untuk menikmati permainan anak anak, menangis pun sulit baginya lantaran ancaman untuk dilaporkan ke kepala sekolah ibu Rahma. Setiap pagi ia gelisah bagaimana caranya menangis diam-diam, sebab menangis adalah cara untuk meminta, adalah cara untuk berkeluh kesah. Setiap TV dinyalakan, setiap ayam pagi berkokok, setiap melihat seragam hijau putih seragam TK Ibu Pertiwi Belanga ia selalu saja merasa bahwa ibu Rahma akan menghampirinya.Â
Di masa kecilnya, Sum-Sum sangat sulit untuk berlarian di tanah lapang ia trauma di datangi oleh ibu guru Rahma. Setiap ia akan bersenang-senang di lapangan depan rumahnya di Belanga atau di halaman sekolah TK yang tak jauh dari rumahnya, ia langsung lari pulang ke rumah. Sejak kecil hingga dewasa Sum-Sum hanya mengurung diri jika pulang sekolah atau pulang dari sawah membantu ayahnya. Ia ibarat anak gadis yang tersimpan dalam kamar, demikian gosip yang berkembang lantaran lebih suka di rumah saja dari pada bermain, bergaul atau Kongkow di pos ronda.Â
Di usia remajanya pula, para gadis desa menyebut demikian setengah laki laki setengah perempuan, kulitnya putih meski dengan jerawat di muka, suaranya lekas meski tubuhnya kekar. Ia pun sulit menikah di kampung Belanga lantaran gosip itu, ia harus keluar ke kabupaten lain mencari gadis untuk pasangan hidup yang siap mendengarkan penjelasan dulu darinya atau yang mudah paham kondisi suaranya yang lemah lembur padahal tubuh kekar. Ia takut bersuara sejak kecil, menangis pun di tahan padahal menangis adalah dari derita sesaat.