Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Usia Pensiun La Baco

10 Mei 2023   15:12 Diperbarui: 10 Mei 2023   20:39 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelaki pemanjat kelapa, sumber gambar; suara NTB

Jumat pagi yang cerah itu merupakan hari lebaran pertama La Baco tanpa istri, tanpa anak serta cucunya. Ia merasa kesepian. Ketiga anaknya belum pulang dari merantau, berarti ketiganya belum saja kaya sebab begitu tradisi di Belanga pantang pulang merantau sebelum kaya atau mereka kawin mawin di rantauan. Ia hanya sering video call bersama anak-anak beserta cucunya di malam hari. La Baco hanya memandangi tingginya pohon kelapa yang ada di sudut lapangan sepak bola Belanga atau tepat di sudut kiri rumahnya yang menghadap ke timur itu. Dulu aku memanjatimu kini hanya memandangimu katanya dalam hati sembari mengisap cerutu.

Di kampung Belanga, ia dikenal atas kepiawaiannya memanjat pohon kelapa. Sebagai seorang Ayah yang gigih mencari rezeki tak peduli dengan tingginya pohon kelapa. Pohon kelapa di Belanga terbilang tinggi, nanti setelah ada kelapa hybrida di tahun 2000an barulah ada pohon kelapa yang pendek dan cepat berbuah. Tapi itu masa lalunya yang pernah berprofesi sebagai lelaki pemanjat pohon kelapa di era tahun 80an hingga awal 2000an.

Makan pagi yang utama, ke pasar Benteng Belanga pilihan kedua, lalu urusan sekolah anak selanjutnya. Istrinya ke pasar buat jajan ikan segar dan cerutu asli sekaligus menjual minyak kelapa goreng yang telah dibuatnya. La Baco tak kenal tingginya pohon kelapa, Ia bahkan rela berpindah-pindah dari pohon ke pohon setiap hari. Dadanya terasa papan, pahanya terasa besi dengan magnet yang menempel di pohon. Tiap harinya ia memeluk hingga berdiri di atas kelapa-kelapa itu demi mendapatkan hasil yang banyak lalu menebas pangkal buah kelapa yang sudah tua. Sepuluh buah kelapa keluar dua, bonus satu hingga dua kelapa muda sebagai pelepas dahaga, bonus pula pelepah kelapa muda buat sapu lidi. Bila lidi-lidi diikat menyatu layaknya filosofi gotong royong bersatu kita kuat bercerai berai kita akan mudah patah.

Selain kemampuannya memanjat pohon kelapa, pada dasarnya ia gemar berkebun. Namun berkebun memiliki banyak hama dan musuh musiman; selain babi hutan, banjir yang terjadi tiap tahun, air pasang yang sering naik tiap hari turut mengerut tanah kebun, begitu juga dengan sapi ternak yang sering kali di lepas pemiliknya saat musim tanam padi di persawahan. Belum lagi harga hasil kebun sebatas pembeli garam saja, istilah ibu-ibu di Belanga ketika harga hasil kebun suaminya belum ternilai di saat itu. Selain pemanjat kelapa dan pekerja kebun, La Baco juga menggarap dua petak sawah milik keluarga istrinya. Banyak keluarga Ibu Muliati yang merantau ke Kuala Enok Kepulauan Riau. Mereka melepas kebun dan sawahnya untuk digarap kepada siapa saja dengan sistem bagi hasil, tiga bagian pekerja dan satu bagian pemilik. Pembagian tersebut sudah termasuk dengan ongkos kerja dan biaya pupuk atau racun yang ditanggung pekerja. Bisa saja pekerja penggarap tidak menanggung apa-apa tetapi ia hanya dapat separuh dari hasil panen bahkan hanya sistem pengupahan. Namun perbudakan sudah tidak ada lagi di Belanga, jadi sistem pembagian tersebut perlahan telah dihapus. La Baco sekedar menjalankan profesi itu karena warga Belanga 70 persen adalah petani padi. Ia bertahan dengan sistem tanam padi manual di kampung Belanga yakni menyemai benih padi lalu menanamnya kelak jika benih sudah berumur minimal 18 hari setelah disemai. Sawah di Belanga 90 persen merupakan sawah tadah hujan, sehingga terkadang hanya sekali setahun panen itu pun terkadang dibantu dengan air pompa dari sungai yang ada di selatan berkilo-kilo meter jaraknya sehingga petani terkadang mengeluarkan banyak biaya kerja dan produksi dibanding hasil. Namun ia harus jalani sebab bagi warga Belanga pamali jika beli Beras, karena hamparan sawah terlihat luas.

Memanjat pohon boleh dikata merupakan pekerjaan selingan La Baco namun profesi itu sudah terlanjur melekat bagi warga Belanga. Hasil pemanjatan kelapa pun sangat membantu membiayai kebutuhan dapur. Istri La Baco pun mengolah minyak tana’ (minyak kelapa yang dibuat semalam bukan dengan sistem VCO). Dari 30 buah kelapa kering bisa mencapai dua botol (botol syrup) minyak kelapa, kemudian dijual seharga Rp. 15.000 per botol di pasar Benteng Belanga. Adapun sapu lidi terkadang jika pembeli menghargainya Rp. 5.000 per satu ikat sapu. Penghasilan kecil-kecilan tersebut cukup membiayai kebutuhan dapurnya, jika ada sisa belanja kebutuhan makan barulah ditabung. Hasil panen padi juga jika berhasil ia gunakan untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya dan untuk tabungan.

Mimpinya cukup sederhana di masa itu yakni bisa memiliki rumah sendiri tanpa menumpang di rumah sepupu Ibu Muliati, demikian ia berusaha memiliki sawah sendiri sebab sejauh ini hanya sebatas sawah garap. Sebelum anak-anaknya taman SMA ia harus bertahan dalam situasi tersebut demi masa depan yang lebih baik. Ia pula memimpikan anaknya jadi orang sukses di rantauan. La Baco tak berharap satu pun anaknya jadi pemanjat kelapa profesional seperti dirinya, sebab ia trauma lantaran si anak tengah habis terjatuh dari pohon kelapa setinggi 18 m saat bulan ramadan tahun 1996 dengan cedera punggung dan kaki. Ia harap anak sulungnya masuk Polisi kelak, anak tengahnya kerja di perusahaan Marmer dan mengumpulkan uang buat beli kebun, demikian anak bungsunya kelak bisa ikut bekerja sama orang kaya agar tertular nasib baik jika tidak bisa jadi atlet sepak bola.

Kini anak-anaknya sudah merantau, sebuah kesuksesan menurutnya. Mimpinya tinggal selangkah dua langkah lagi. Si Sulung sudah jadi Polisi namun belum sesuai harapannya yakni jadi polisi yang kaya raya meski berpangkat rendah. Si sulung malah rela jadi polisi miskin demi memegang prinsip kebenaran. Si anak tengah kini hanya jadi kutu buku, ia ingin jadi penulis bahkan ia berhenti diam-diam dari perusahaan marmer. Sementara si Bungsu baru saja menikah dengan perempuan idamannya. Ke tiga anaknya tidak bisa ia harap pulang ke Belanga. Sebab ketiganya lelaki, tentu malu jika pulang mudik, ngutang lagi setelah balik saat arus mudik. Tak ada anaknya jadi petani padi sebab semua sawahnya kini jadi sawah gadai buat biaya rantauan ketiga anaknya.

La Baco yang ditinggal mati istrinya yang terkena stroke. Padahal istirnya berharap jika La Baco segera pensiun dini memanjat pohon kelapa, ternyata ia pensiun dini lantaran habis operasi prostat. La Baco terkena prostat kemungkinan terlalu berkuat saat memanjat dan sering menahan kencing saat ia di atas pohon kelapa.

Setiap pagi ia memeluk pohon kelapa di sudut kiri lapangan/ sudut kiri rumahnya. Sesekali juga ia mengunjungi makam istrinya yang tepat berada di bawah pohon kelapa di sudut kanan belakang rumahnya. Tanah itu ia beli dari hasil jualan minyak kelapa. Ia tabung selama sepuluh tahun hingga membeli tanah 5 are dekat kuburan. Semuanya ditanami kelapa Hybrida yang pendek-pendek, namun sayang seribu sayang, La Baco tidak paham mengolahnya jadi minyak kelapa.  Ia hanya hobi manjat dan menanam.  La Baco di usia pensiunnya kini hanya bisa berandai-andai. Ia tidak punya pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni layaknya orang tua seusianya. Ia pernah jadi hansip tapi hanya setengah tahun, ia pernah jadi preman pasar tapi hanya setahun. Kedua pengalaman itu pula tidak berlaku bertahan hidup di usia pensiun.

La Baco, kini hanya menunggu kelapa tua terjatuh dari pohon lalu ia jual per biji ke Pasar Benteng Belanga. Pelepahnya pun tak bisa dijadikan sapu lidi lantaran pemesanan sapu sudah berkurang sejak semua rumah di Belanga berubah jadi rumah batu sehingga kebutuhan sapunya berubah jadi sapu ijuk. Terdengar suara adzan duhur pertanda panggilan shalat jumat datang kepada semua muslim laki-laki termasuk La Baco. Ia pun bergegas ke Masjid tanpa mengisi sebiji nasi pun di perutnya, hanya isapan cerutu, segelas kopi hitam, dan dua gelas air kelapa tua yang tersisa dari pasar kemarin. Hari ini tak ada nasi putih di Belanga, semua orang makan buras (makanan lebaran khas Bugis yang terbuat dari beras dan santan). La Baco pun belum sempat memasak nasi dari beras pembagian raskin kemarin. Ia lebih memilih bersantai mengenang masa lalu bersama mendiang istrinya, dan masa kecil anak-anaknya. Lamunan itu terpaksa ia hentikan lantaran panggilan adzan kedua dari masjid tepat arah selatan rumah La Baco.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun