Bruuuuuukkkkk! Gelagar suara gelas pecah dari arah dapur. Entah sudah berapa gelas yang dipecahkan oleh istri Daeng Tutu. sepanjang pagi ia mengamuk. Ia meminta dicabutkan ubannya. Sementara suaminya asyik saja duduk di beranda menunggu para peminum kopi. Daeng Tutu tak peduli dengan suara pecahan gelas tersebut. Suara pecahan gelas tersebut pada dasarnya panggilan dari istrinya, ia ingin dilayani terlebih dahulu sebelum melayani para peminum kopi. Bruuukkk! Gelagar suara piring. Suara itu tepat di pintu warung kopi Daeng Tutu. Demikian pertengkaran setiap subuh hari kedua pasangan itu. Ada-ada saja permasalahan di antara mereka. Mulai dari selera makan ikan yang berbeda, si suami ingin ikan rebus. Si istri inginnya ikan bakar. Anak cucu mereka tentu sangat repot jika setiap hari berbeda selera makan. Belum lagi selera sabun mandi hingga pewangi badan, dan sebagainya. Â
Kali ini Daeng Tutu cukup cuek entah apa gerangan ia tidak melayani istrinya yang sudah berumur 75 tahun itu. Menurut istrinya hari ini terlalu pagi untuk berkumpul di kelompok tani mabbulosibatang Belanga. Namun tidak ada kata terlambat atau terlalu cepat untuk menikmati racikan kopi Daeng Tutu bagi para pelanggannya. Racikannya yang pas, masakan kopi gunung Bulusaraung dengan menggunakan bara api tungku membuat aromanya tercium dengan radius ratusan meter ke kiri, kanan, depan, belakang. Pada dasarnya kedai itu bukan warung kopi melainkan hanya sekretariat kelompok tani. Namun Daeng Tutu memanfaatkannya sebagai lahan bisnis, demikian pola pikirnya di mana ada perkumpulan di situ ada pundi-pundi uang. Apalagi ketua kelompok tani tersebut adalah anaknya sendiri, sehingga ia tak perlu minta izin untuk berdagang. Ia cukup bagi hasil setiap bulannya kepada pengurus kelompok tani. Â
Tak hanya anggota kelompok tani yang kena candu kopi tersebut, melainkan pak Desa Belanga beserta pak Imam kampung sesekali mampir. Beberapa bakal calon anggota dewan kabupaten dan provinsi sesekali mampir memberikan nasehat politik tentang kondisi per-korupsi-an di negara kita. Katanya banyak pejabat yang korup, anggota dewan dari partai lain juga sesekali terjerumus, katanya tidak perlu panjang lebar membuka bukti, semua bisa dilihat di tivi-tivi tiap pagi. Setelah mereka terpilih terkadang ada yang kembali melapor atau sekedar mengirim foto di gedung DPRD. Istri Daeng Tutu, demikian memanfaatkan kedai terWarung kopi daeng ini, kini menjadi sekolah petani. Dalam artian anggota masuk pukul 7 pagi pulang di jam makan siang. Kecuali sedang menabur benih mereka seakat masuk jam 9 pagi hingga duhur. Setiap pukul 12 siang kedai itu harus ditutup. Aturannya begitu dari istri Daeng Tutu. Sore pun tidak boleh mampir, cerita porno pun akan direkam lalu dilaporkan ke istri masing-masing atau kepada cucunya para peminum kopi itu yang rata-rata sudah usia purna.
Sesuai kewajiban subuh ia tunaikan, Daeng Tutu bergegas menyiapkan gelas-gelas kaca merek duralex itu. Beberapa di antaranya sudah pecah akibat ulah  istrinya. Kali ini ia sediakan berkisar lima belasan gelas. Mungkin yang akan hadir tidak kurang dari sepuluh orang peminum kopi. Para anggota kolompok tani berdatangan satu per satu. Istri Daeng Tutu sangat marah lantaran mereka datang lebih awal. Padahal semalam hujan turun. Dalam artian sawah mereka basah dan bisa ditanami. Entah berita apa yang hangat di kedai kopi pagi itu. Entah siapa narasumber mereka, siapa pula yang banyak membayar lantaran kurang benar jawabannya. Sebab setiap ada kasus jika kurang tepat jawabnya maka ia wajib bayar dua gelas kopi. Demikian jika ada narasumber alias pacaleg (para caleg) atau dari dinas pertanian yang kebetulan ingin mengajak petani untuk sesuai panduannya seperti tanam padi manual tanpa tabula (tanam benih langsung) alias dihambur pada lahan yang siap digunakan atau bahkan ada racun dan pupuk baru yang mesti meraka uji cobakan. Jika ada hal baru maka para narasumber tersebut akan membayar biaya kopi minimal sepuluh gelas selama tiga hari berturut-turut. Para petani pun harus menuruti apa yang disampaikan narasumber.Â
Sungguh murah daya beli petani. Terlebih dengan suara coblosan untuk pacaleg tadi. Namun tidak demikian. Ada tawar menawar yang lain selain kopi. Jika para narasumber dari dinas pertanian, maka mereka wajib pula membeli hasil panen dengan harga normal. Demikian juga jika ada bantuan alat pertanian maka kelompok pendengar tadi yang wajib duluan mendapatkannya. Sebab di kedai kopi tersebut tersedia segala macam perlengkapan administrasi, video dan rekaman atas perjanjian mereka. Dalam hal tersebut, tugas Istri dari Daeng Tutu lah yang menangani persoalan tadi yakni perjanjian di atas materai, video dan rekaman. Sehingga para narasumber tidak boleh ingkar janji. Jika saja mereka ingkar janji maka video rekaman akan dikirim ke istri masing-masing bahwa para suami mereka tidak ke sawah, tidak ke kantor melainkan ke warung kopi setiap hari.Â
Para caleg yang akan berkunjung ke kedai kopi tersebut sudah siap mental. Para peminum kopi juga harus jajan kue dan sayur-mayur dari jualan istri Daeng Tutu. Itulah resiko yang mereka jalani jika bergabung di kedai itu. Jika sudah dua jam duduk dan mereka tidak jajan kue mana istri Daeng Tutu selalu berulah.
Pukul 10 pagi tertera di jam dinding warung itu. Mata istri Daeng Tutu terus melotot, para peminum kopi tak peduli. Bahkan tak ada satupun kue tradisional yang tersentuh. Mungkin mereka menunggu para caleg memulai atau paling tidak mempersilahkan mereka. Dalam artian siapa yang memulai maka mereka yang bayar. Para petani tak ada yang berani bicara sepatah kata pun. Mereka terdiam seolah serius menyimak. Bisa saja mereka tidak dapat jatah uang kopi dari istri mereka masing-masing. Pasalnya semalam hingga subuh hari hujan berarti sawah mereka basah. Harapan para istri tentu ke sawah dulu hari ini dan absen untuk ngopi. Mereka datang dengan seragam Rabu, mereka pasti nunggu traktiran dari para caleg.Â
Sudah lima gelas yang pecah, tangan Daeng Tutu bertasbih seraya menghitung gelas dan piring pecah. Tak ada reaksi, tak ada yang ingin beranjak duluan lantaran siapa yang pamit bisa saja ia yang bayar. Istri daeng Tutu tak kehabisan akal ternyata ia rekam pembicaraan para peminum kopi secara life sehingga para istri mereka berdatangan tak lama setelah life di FB dan di IG dimulai. Memang nenek dengan gigi palsu itu tak melek IT. Pa desa yang pertama datang, pa RT, disusul pa Iman. Setelah itu puluhan emak emak bergerombol menunggu instruksi pecahan gelas ke enam dari istri Daeng Tutu.Â
Brrtrrukk langsung lima gelas sekaligus ia pecahkan. Suasana semakin pecah. Terpaksa para caleg harus tanda tangan di atas materai atas kesediaan membayar gelas gelas kopi baik yang terisi maupun yang terpecahkan demikian kue dan sayur mayur harus ia tebus. Jika tidak maka rekaman akan diviralkan. Daeng Tutu seketika mengumumkan kalau warung kopi akan ditutup hingga pemilu usai bahkan setelah para caleg itu menang atau kalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H