Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Ngebolang di Ladang dan di Sungai

2 April 2023   06:06 Diperbarui: 2 April 2023   06:31 3505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Saat ramadan tiba, hal yang paling saya rindukan adalah ngebolang di ladang. Kampung saya berada di dataran rendah dalam artian tidak terlalu dekat dengan gunung tetapi dekat dengan laut. Pada akhirnya sedikit demi sedikit tanah-tanah di kampung kami terkikis oleh air pasang. 

Termasuk kebun dan rumah-rumah warga di pinggir sungai bahkan tanah persawahan banyak yang berubah jadi tanah ladang. Ladang bukanlah kebun, melainkan sejenis tanah yang berasal dari hasil gerusan air sungai baik itu banjir maupun hasil air pasang. Ladang berada dekat dengan sungai-sungai yang jaraknya puluhan kilo meter dari laut. Namun radius air pasang bisa melewati beberapa desa dan kampung-kampung termasuk di kampung saya.

Setiap ramadan tiba, ada hal menggembirakan bagi kami. Apa lagi ramadan itu jatuh pada bulan-bulan kemarau sehingga kita bisa asyik bermain di ladang. Apa saja yang kami lakukan saat ngebolang di ladang saat bulan ramadan tiba. Pertama saya dan anak-anak lainnya baik anak gembala maupun bukan bermain bersama di ladang. Mulai dari bermain bola, manjat pohon gerseng di pinggir sungai yang dalam. Kami tidak takut jatuh, semakin terjatuh semakin asyik. Bisa berenang. 

Semakin dalam sungai semakin kami senang. Semakin datang air pasang di sore hari semakin kami senang. Bahkan kedatangan air pasang dan banjir sengaja kami tunggu. Kedua, saya dan teman-teman masa kecil saat ramadan tiba, kami ke ladang mencari kacang tanah baik dari yang dibawa arus banjir dan digerus air pasang. Kacang tanah banyak yang tersisa dari para petani. Sisa kacang tersebut kami pungut hingga berliter liter lalu nantinya kami jual buat jajan di malam hari. Harga kacang tanah semasa kami kecil mulai dari lima ribuan hingga tujuah ribuan yang berkulit. Para pedagang pun senang dengan kacang pungutan kami karena gurih dan sudah kering sekali.

Kegiatan lainnya saat kami ngebolang ladang memungut kerang-kerang sungai maupun kerang laut yang terbawah air pasang. Kerang-kerang sungai berada di ladang yang dekat sekali dengan sungai bahkan berada di bibir sungai. Kerang-kerang tersebut berwarna kuning. Kata orang di kampung kami kerang sungai tersebut adalah obat untuk penyakit kuning. Selain kerang kuning ada juga kerang hitam. Keran hitam ini juga ada di bibir sungai yakni di pinggir ladang. 

Keran hitam ini berada di bawah pasir-pasir basah. Ketika air pasang pergi maka kerang tersebut pun sangat mudah didapat dengan mata kaki kita. Kaki digunakan untuk mencarinya layaknya di pinggir laut atau di sawah berlumpur, para kerang-kerang berada di sana.

Sore menjelang berbuka, kami dan gembala pulang membawa hasil ngebolang kami. Satu per satu hewan gembalaan kami tunggangi pulang dengan sebongkah kacang, kerang, terkadang pun hanya sebatas keringat atau tangis air mata lantaran perkelahian sesama anak yang sedang ngebolang. Suasana itu yang kami rindukan saat ini sebelum para raksasa menggerus tanah ladang untuk mengambil pasir-pasir di bawah ke kota demi pembangunan. Kini sungai sangat meluas bahkan setiap musim banjir datang tak ada lagi yang bisa kami pungut semuanya hanyut.

Ladang dan sungai ibarat kata adalah ruang terbuka bagi kami yang setiap saat menerima kami di masa kecil dulu. Terlebih di saat Ramadan tiba, ladang dan sungai tempat kami ngebolang baik untuk mencari sesuatu bernilai maupun sekedar bertemu dengan teman masa kecil kami. Kedua tempat itu sangat kami rindukan di masa kini, sebab ia memanjakan masa kecil kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun