Kita sering kali bermain main di taman edelweis, tak ingin memetiknya bukan hanya karena kode etik, tapi di sana ada wangi abadi, meski layu, kita ingin jiwa-jiwa ini juga tak layu dan abadi.Â
Setiap pekan kita berlarian di lembah melihat air mata air, mengairi tanah-tanah yang kering, senang melihat tanaman tumbuh darinya, kita tak ingin mandi bukan karena takut mengotori, tapi kita ingin jiwa-jiwa kita mengairi segala yang kering, membiarkan tumbuh liar dengan air mata air tanpa air mata kepedihan.
Setiap akhir tahun, sesekali kita ke hutan, melihat lumut-lumut itu tumbuh di pepohonan, memeluk erat, condong ke timur mentari pagi, sementara daun daun yang sudah lembab condong ke barat, kita tak pernah mengusiknya, bukan karena alami, tapi kita ingin jiwa-jiwa kita meneduhkan segala yang bernaung, menjadikannya penunjuk arah, kita senang hutan di pelukan bumi.
Pernah dua tiga kali kita ke puncak gunung, melihat atap daratan, dari gunung Bawakaraeng ke gunung Latimojong, dari gunung gede ke gunung Slamet, hingga sekali kita tak bersama engkau ke gunung Rinjani. Kita tak pernah berkata aku atau kami di puncak, Â tapi kita ingin jiwa-jiwa kita yang angkuh ini berada di ketinggian agar kita melihat lebih dekat ternyata kita begitu kecil mungil di alam ini.
Hari ini engkau ke pelukan bumi, melihat bagaimana tubuh mu berawal dari bumi kemudian di ke-bumi-kan.Â
(Selamat jalan sahabat sejati ku, lestari lah di sana)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H