Saat rembulan nampak kemerahan di atas sana, terdengar tangismu, kali ini berbeda dengan malam sebelumnya, awalnya kau bercerita bagaimana kita bertemu dulu, akulah yang pertama melukaimu.
malam ini tak seputih awan sebelumnya, tampak dengan rembulan, malam dengan sedikit kemerahan, air matamu terus saja mengalir, sepertinya aku kembali melukai hatimu, aku bilang maafkanlah dirimu, tak usah maafkan diriku, aku ini rembulan, engkau mentari pagi, tetap saja air mata itu mengalir hingga membasahi pipimu dengan tahi lalat yang pertama kali aku kecup dulu, iya tak ada lelaki sepertiku yang berani saja, sejatinya akulah lelaki pengecut itu yang menyimpan kesan manis dan luka di antara suka dan air mata.
kapankah air mata itu memaafkan luka, masa lalu itu biarlah tersimpan rapi antara hati perempuan ini berwajah jantan ini. semakin aku menjanjikan purnama untukmu ia selalu pagi bergegas melambai, malamku mengingau tentang pipi kananmu terus berderai.
air mata itu, masih saja terus berderai hingga pagi dan pagi kembali, di sini aku merenung luka-luka yang berat itu, malamku tak menerima jua maafku, seperti air matamu tak menerima maaf atas luka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H