Setiap anak lahir dengan membawa rezeki masing-masing termasuk dalam hal previlese. Layaknya anak-anak pada umumnya, kita tentu bangga lahir sebagai anak yang diberikan previlese dari orang tua kita masing-masing. Ada anak yang kaya sejak orok. Ada anak yang sudah disiapkan berbagai fasilitas hidup di dunia oleh orang tua mereka maupun kakek nenek mereka. Bahkan ada anak yang pada saat lahir di dunia, ayah ibu mereka mendapat sebuah jabatan penting dalam pemerintahan sehingga mendapatkan previlese berkat dari jabatan orang tua mereka. Adapula anak-anak seperti di kampung tempat saya lahir dan dibesarkan tidak mendapatkan prevelese dengan harta dan jabatan melain ia lahir sebagai keluarga terpandang karena kepahlawanan kakek nenek mereka, kebangsawanan kakek nenek mereka, atau karena cerdik pandai baik sebagai ulama, maupun umaroh.
Saya sebagai anak yang dilahirkan dalam posisi anak petani padi tentu memiliki previlese sendiri dibanding anak lainnya. Prevelese kami sebagai anak petani bahwa kami mendapatkan hak-hak tertentu dalam keluarga dan di masyarakat yang tentunya tidak dimiliki oleh anak di perkotaan. Prevelese yang saya maksud seperti kami bisa makan sebanyak yang kami mau karena ketersediaan lumbung padi, kami bisa bermain dengan senang dan tenang kapan dan di manapun tanpa ada tekanan, prevelese yang lain adalah setiap panen tiba kami diberi hak untuk menjual gabah hasil keringat kami sendiri. Setiap panen tiba saya bersama adik dan kakak saya tentu akan berbaju baru, beli sepeda baru, dan bisa jajan (mie, minumun, permen, biskuit di toko kelontong emmak-emmak) sesederhana itulah kehidupan kami sebagai anak tani.
Ada hal menarik yang bisa saya petik sebagai anak petani. Mungkin ini juga sebagai previlese bagi saya. Ketika saya dilahirkan dalam keadaan bapak ibu berprofesi petani, saya dan saudara-saudara saya tidak memiliki kekhawatiran berlebih akan takut miskin sebab kami tidak pernah tahu miskin itu apa sih sebenarnya. Apa lagi kaya, kami pun tidak pernah takut dengan kaya, kekayaan, apalagi kemewahan, sebab tak ada dalam benak kami. Ia seperti hantu yang lalu di tengah malam di atas atap menakuti anak-anak tetapi tidak ada yang takut. Kota di benak kami pun adalah sesuatu dongeng yang sering diceritakan oleh orang tua kami, tetangga, atau sesekali ada yang datang dari jauh atau kapal laut mereka sandar di pelabuhan tak jauh dari kampung halaman kami. Previlese yang lain adalah kami tidak pernah takut dengan masa depan, seperti kehilangan pekerjaan, takut dapat jodoh dan sebagainya. Nyaris ketakutan tersebut tidak ada dalam benak kami. Hanya saja seiring berjalannya waktu, ketika remaja hingga dewasa dan keluar bergaul ke keluarga ibu ayah dan di masyarakat sekitar malah mendapat stereotype sebagai anak tani. Pada akhirnya ayah ibu juga demikian berupaya mencarikan kami jalan lain yakni keluar dari dusun ini, berangkat sekolah jika kamu bisa membiayai diri kamu sendiri sebab bertani ini pada dasarnya adalah bertahan hidup (kata ayah ibu).
Padahal semasa anak-anak hingga remaja kami merasa menikmati semuanya. Kami bertani sambil beternak ayam, kami bertani sambil berkebun di kebun dan di ladang dekat kali. Setiap panen dari hasil kebun dan ladang kami bisa memberi ke sana ke mari. Sebab kacang-kacangan, jagung muda, umbi-umbian, sayur-mayur, kelapa, hingga pisang (yang saat ini harganya melejit), di masa itu kami hanya bagi kepada siapa saja yang membuthkan. Sebab di kampung kami era 80an-90an harga barang-barang kebun tak ada nilainya kecuali padi yang tetap memiliki harga karena kebutuhan pokok. Bukankah itu previlese kami sebagai anak tani. Kini semua itu buyar dan menjadi keraguan ayah ibu kami setelah masuk tahun 2000an.
Ketika keluar ke kota, melihat dunia luar ternyata jadi candu seakan enggan kembali ke desa. Padahal desalah yang memberi kami kehidupan awal hingga remaja. Melihat rupa-rupa kota, warna-warni lampu di malam hari, bergaul ke sana ke mari menjadikan kami punya mimpi lain. Setelah dewasa dan punya anak, seakan ingin kembali pada masa-masa di mana kami dibesarkan namun keadaan sangat berubah drastis seiring dengan drastisnya harga pupuk, harga BBM, dan turunnya harga gabah (bukan beras).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H