Sore hari selepas gerimis sedang asyik memikirkan kira-kira menu makanan apa yang cocok dengan lidah dan lambung yang manja ini. Saya sedang duduk di depan taman kampus, sembari memegang dua buah buku dan sebuah handphone yang sedari tadi kubuka aplikasi grab food. saya malah kembali memandangi bunga-bunga di taman sekedar mengalihkan perhatian dari layar handphone dan huruf-huruf yang sedang mencari tuannya dalam kedua buku di tangan.Â
Sepertinya bunga-bunga itu menunggu hujan reda sebelum senja berlalu. Ah ini bukan hujan bulan juni kataku, tenang saja wahai bunga di taman. Kau tidak akan kenapa-kenapa dengan hujan maret ini. Ia hanya hujan lewat yang senantiasa menyapa kenangan februari kemarin. Demikian burung-burung tekukur datang silih berganti menggoyang-goyangkan pohon dan tangkai bunga itu. Ia tahu bahwa ada sisa kupu-kupu warna warni yang manis di situ. Layaknya meminum kopi pagi ada bekas bibir si mba Inong, gadis penunggu angkringan bersama ayahnya penggemar nasi padang itu.
Suatu hari saya sempat bertanya apakah burung tersebut adalah piaraan atau sengaja di lepas. Pada dasarnya burung-burung tersebut merupakan piaraan namun pihak kampus membelinya lalu melepasnya di area kantor pusat, taman kampus dan perpustakaan. Sehingga ia menunggu para kutu buku duduk menyendiri di taman, tak juga menyapa lebih-lebih mengganggu ia paham dirinya sebagai burung tekukur hanya menuggu sisa jajanan yang jatuh dari lembar buku kutu buku.
Jam lima sore, hujan sudah beranjak namum belum kepikiran ingin pulang ke kosan yang tidak begitu jauh. Rasanya ingin jajan sore sembari melipat huruf dalam kumpulan cerpen Jokpin "Tak ada asuh di antara kita". Saya terhenti pada judul cerpen ini bapak budi. Ah terlalu berat kataku, lalu aku beranjak pergi ke taman dan buku lain seolah-olah aku kutu buku yang ditunggu oleh burung-burung tekukur itu. Aku dimanjakan buku novel yang ditulis oleh M. AAN Mansyur tentang perempuan, rumah kenangan.Â
Buku itu sedikit menghentikan bacaan akademikku, tapi biarlah toh ia akan menghinggapi pikiranku untuk sekedar rindu dengan keluarga di kampung halaman. Biarlah sedikit air mata ini menetes, bumipun sempat menetes tadi kata bunga-bunga itu. Burung-burungpun tak akan peduli dengan keadaan kita, ia sudah merdeka tidak ingin banyak urusan kepada manusia yang tamak dan rakus sepertiku, namun begitu lemah hanya saja berjenis kelamin lelaki tapi pada dasarnya lebih dominan keperempuanannya. Istri saya pun mengiyakan hal ini, bahkan anak-anakku pernah menertawakanku di sebuah pusat perbelanjaan lantaran aku memilih baju berwarna pink dengan lengan ke atas disertai bintang-bintang kecil layaknya seorang gadis manja yang menunggu bintang jatuh namun tak pernah jatuh juga sebab bintang di atas sana cukup jauh.
*****
;maaf mas, telat dikit! Sela pak Wagin (tertera pada layar gojek di handphone ini)
Ya mas, nga apa-apa kok! Santai aja, tidak terburu-buru kok
; sendowo yah mas? Tanyanya pelan,
Ya pak! Sapaanku berubah ke bapak tua itu. Umurnya sekitar enam puluhan jika dilihat dari tampilan dan laju kendaraan yang agak sulit lagi ia kendalikan. Seakan aku ingin menggantinya sesaat, demi sekedar berbagi energi. Entah dipikiranku, jikalau umur enampuluhan nanti sepertinya diriku demikian.