Pukul sebelas malam kurang lima belas menit, Sum-Sum bergegas. Ia mengambil ransel berisi bekal makan malam, Sarung dan kopiah, masker dan helm. Tak lupa ia mengambil badik, korek api (dengan senter) beserta surat La Baco. Ia membawa badik kemana mana setiap harinya lantaran sejak kecil sudah terbiasa. Badik buat jaga jaga di pabrilk sering ada perkelahian yang tidak jelas. Tentu tidak akan ada yang ingin mati konyol, pesan La Baco ke Sum-Sum. Surat dari La Baco ia akan baca di jam istirahat nanti yakni jam empat hingga jam lima shubuh. Tentu dengan senter itu, cukup membantunya melihat surat di tempat gelap. Di saat orang-orang Malinau tertidur, ia harus berangkat kerja. Kali ini ia dapat giliran kerja Shift tiga atau shift malam. Di perusahaan tempat ia harus mengorbankan masa produktif itu, terdapat tiga jenis shift atau jam pembagian kerja; pertama shift pagi masuk pukul tujuh pagi hingga pukul dua siang, kedua adalah shift kedua masuk kerja pukul dua siang dan keluar pukul sebelas malam, dan ketiga adalah shifft tiga yang masuk pukul sebelas malam keluar pukul tujuh pagi. Demikian roda hidup Sum-Sum bertahun-tahun di perusahaan marmer milik orang Italia itu.
****
Pasca krisis moneter di Indonesia dan masa peralihan pemerintahan orde baru ke reformasi, sangat dirasakn bagi warga negara Indonesia. Termasuk keluarga Sum-Sum yang hanya merupakan petani padi garapan. Setamat SMA tahun 2000, ia tidak tahu menahu harus ke mana. Pasca tamat sekolah ia hanya keluyuran. Suatu waktu ia bertemu dengan anak pak KUA kecamatan, namanya Aco ia punya suadara dosen di kampus negeri di Ujung Pandang. Aco mencoba membisik Sum-Sum, daftarlah kau ke kampus di Ujung Pandang kalau tidak lulus kan ada cerita kalau kau pernah gagal. Sum-Sum kemudian ke Ujung Pandang, nginap di rumah sekampungnya orang Belanga. Pilihan pertamanya adalah jurusan Kimia dan kedua adalah HI. Sungguh berat pilihan Sum-Sum tapi namanya coba-coba kata Aco. Singkat cerita ia kembali jadi petani padi bersama ayahnya La Baco karena tidak ada alasan untuk menghindar dari profesi itu. Kakanya Sum-Sum La Basri sedang sibuk juga persiapan masuk Bintara Polri, tahun lalu ia tidak lulus. Beberapa petak sawah warisan Sumiati ibunya sudah tergadai. Begitulah pekerjaan harus terbeli dengan materi. Demikian juga kuliah di Ujung Pandang butuh biaya. Ingin sekali rasanya Sum-Sum kuliah, setahun lalu La Basri pernah juga berbisik kepadanya. Dik daftarlah kau kuliah nanti meski Ayah Ibu tidak merestui yang jelas pernah kuliah biar satu semester, satu bulan bahkan sehari saja kata La Basri kepada adiknya. Kali ini ia tak punya alasan untuk kuliah.
Sum-Sum sedang merencanakan sesuatu agar ia dianggap berpendidikan di Belanga. Ia temui para sarjana dari Ujung Pandang yang sedang menganggur. Mau bekerja tak ada lowongan, mau buka usaha dan menikah juga modal uang tak cukup. Menikah di Belanga paling murah seratus jutaan. Di luar uang panaik (uang untuk pesta perempuan) dan mahar (yang berupa tanah, rumah, atau emas). Ia berangkat ke sawah lebih awal hanya untuk menemui Yunus si sarjana agama islam lulusan IAIN UP sedang ngarit rumput di pematang sawah. Sejak lulus kuliah ia bangga jadi petani dan gembala. Sum-Sum bujuk Yunus untuk sama-sama buka kursus Bahasa Inggris di Belanga. Kursus tersebut berhasil terbuka. Kedua pemuda itu berhasil menjalankan beberapa bulan kursusnya dan mereka memiliki penghasilan enam puluh ribuan paling rendah setiap bulannya. September tahun 2000, seorang yang merasa disegani dan punya kekuatan politik di Belanga akhirnya mensomasi kalau kursus tersebut ilegal.
****
Sum-sum malu dan merantau ke Malinau dekat dengan ibu kota Ujung Pandang. Malinau dua jam bisa ditempuh ke arah utara dengan Pete-Pete jika tidak macet. Malinau pusat pertambangan semen dan marmer. Kurang lebih dua pabrik semen raksasa di sana, dan kurang lebih 30 pabrik marmer (hanya sekitar 5 persen milik pengusaha lokal selebihnya milik Asing).
****
Lampu kendaraan roda dua dari arah pantai Biringtasi sedikit memberi cahaya jalanan arah ke pabrik tempat Sum-Sum bekerja. Malam begitu hening, angin malam sudah menusuk hingga ke ubun-ubun. Tak ada lagu Roma Irama "jangan begadang" dinyanyikan di kampung Malinau sejak kehadiran pabrik marmer yang berproduksi di malam hari. Jamaah shalat shubuh pun hanya ada marbot dan nenek tua sekedar menyiarkan suara toa masjid petanda di kampung Malinau ada komunitas muslim. Pekerja shift dua tentu kecapean tidak ke masjid, terlebih pekerja shift tiga masih di pabrik. Ditambah dengan para petinggi perusahaan baik pabrik semen maupun marmer tak ada yang ingin tinggal di sana. Mereka tentu tidak bisa menghirup polusi pabrik di luar jam kerjanya. Jauh sebelum virus yang mewabah, di sana sudah wajib masker dua puluh empat jam. Di masa pandemi orang hanya pakai masker di tempat umum, namun tidak di Malinau. Air bersih pun sulit terbeli. Air yang dikonsumsi pada umumnya merupakan air yang dikelola pabrik sehingga sat kapurnya banyak. Mata air dari gua dan kali sudah rata, gunung gunung sebagian sudah jadi semen atau kotak kotak seperti tahu sebentar lagi akan jadi lantai mewah milik para konglomerat.
****
 Rombongan pekerja Shift tiga dengan kendaraan roda dua atau carteran pete-pete (sejenis angkot di Malinau) baru tiba di depan gerbang pabrik. Roda dua bisa saja langsung masuk, parkir di depan pabrik. Terkecuali pete-pete harus mencari parkir tepat di mulut gerbang keluar. Guna mengangkut pekerja shift dua carteran mereka. Biasanya pekerja yang ikut carteran pete-pete berasal dari kota kabupaten atau kota Provinsi. Mereka ikut terjebak dalam kondisi kerja untuk makan, dan kerja agar tidak dikata pengangguran. Pasca krisis moneter di negara itu, termasuk desa asal Sum-Sum di Belanga ikut terpuruk. Bekerja dengan profesi karyawan pabrik akan jadi presistise bagi orang tua mereka di Belanga. Pekerja shift tiga dan shif dua saling berpapasan, tak ada saling sapa di antara mereka. Nampak lesu muka para pekerja shfi dua yang sudah sejak sore terkurung dengan jubah dinasnya, layaknya petugas kesehatan yang takut kena sebaran virus, namun mereka disertai dengan helem cukup bagus agar bisa meminimalisir kecelekaan dari reruntuhan batu gunung. Sebaliknya muka-muka para pekerja shift tiga sebagiian terkena racun tidur sala-sala (istilah orang Malinau, tidur tidak jelas, serasa ingin tidur tapi terbangun lagi). Gerbang kiri dibuka petanda pukul 23.00 WITA malam pada jam pos satpam, 2 menit kemudian 23.02 WITA gerbang kanan akan dibuka petanda rindu para pekerja dengan keluarga yang menantinya.
Sudah tahun ketiga Sum-Sum meninggalkan Belanga, ia hanya menjalani amanah keluarganya untuk bertahan kerja di Malinau. Meski gaji hanya tiga ratus ribuan per bulan untuk karyawan baru. Setiap tahun naik katanya mengikuti UMR atau UMP, nyatanya tidak. Di tahun ketiga gaji Sum-Sum mentok Rp. 4.12.500, jika lembur kerja dua shift ia bisa dapatkan hingga Rp. 500.000, an. Kerja satu sfhit tiga saja bisa mengalahkan kerja tiga hari, sebab kerja shift tiga tidak bisa tidur mesin pemotong maremer berjalan terus. Apalagi ada pemesanan dari para anggota DPR pusat atau pesanan marmmer dari pemilik hotel di Luar Negeri.