hutan tempatku berlari, bersama kawan yang menamai dirinya penyuka hutan. di hutan kawan-kawanku adalah hutan, kawanku sendiri jadi hutan. dulu sewaktu kecil, hutan adalah hantu, hantu adalah hutan, ternyata tidak demikian. hutan adalah kawan, hutan memberiku udara, kesejukan dan kehati-hatian, hutan mengajariku ketakutan kepada tuhan, bukan kepada hutan itu sendiri.
sejak mengenal hutan, ia terus membayangiku tentang, dengan siapa ia di sana, tentang daun-daun jatuh ke tanah, tentang cacing, pacet, burung, dan segala warna hutan? tentang, pohon-pohon yang rindang masihkah ada? air-air mata air dari batu, air-air dari akar pohon, menyatu membentuk sungai, air-air sungai mengalir ke desa-desa melewati kota lalu ia ke laut, lalu aliran air jadi arah bagi yang kehilangan. hutan bersama pohonnya yang berlumut menjadi petunjuk arah timur, ranting-ranting pohon yang condong melengkung  menjadi petunjuk arah barat.
aku rindu memeluk pohon, pertama kali ke hutan, di sana aku mulai jatuh cinta, hutan adalah cinta pertamaku, yang masih kurahasiakan namanya, hutan tak pernah dusta, ia selalu jujur mengabari, tentang arah, cuaca, udara dan segala warnanya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H