Sapaan atau gelar Puang selalu menjadi wacana perdebatan bagi kalangan masyarakat Bugis baik di Sulawesi Selatan maupun di perantauan.
Sapaan puang bagi masyarakat bugis memiliki tingkatan yang berbeda berdasarkan strata sosial, maksud dan tujuan penutur, dan sebagainya. seiring perkembangan zaman gelaran tersebut kini banyak mengalami pergeseran makna. Sehingga tingkatan sapaan puang tersebut kadang dapat diukur dari tingkat Appuangngenna (sapaan puang bagi kalangan bangsawan) dan juga tingkat strata sosial lainnya yang tidak termasuk dalam tingkat Appuangeng atau berdasarkan maksud individu dalam menggunakan sapaan gelar di kalangan masyarakat Bugis tersebut. Sapaan ini pula juga berbeda antara kelompok Bugis tertentu yang ada di satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Kenapa hal tersebut berbeda? Perbedaan sapaan tersebut juga tentu memiliki makna dan konteks yang berbeda. Sapaan kepada Tuhan (sang pencipta) atau sang khalid sendiri berbeda bagi masyarakat Bugis. Mereka menyebut Tuhan itu dengan sapaan yang beragam dengan makna yang sama antara lain Puangnge (dari kata dasar Tuhan + pronomina -nge dalam bahasa Bugis bermakna kepemilikan jamak sehingga berarti Tuhan yang menciptakan segalanya), Puang Alla Taala (Tuhan), Puangku Marajae (dari kata dasar Puang + pronomina ku berarti Tuhanku dan kata Marajae dalam Bahasa Bugis adalah Tuhan yang Maha Besar), Puang dewata sewwae (Tuhan/ Dewa yang memiliki kuasa). Ketiga sapaan tersebut memiliki makna yang sama hanya saja konteks penggunaan yang berbeda. Misalnya seorang anak kecil dianggap tidak sopan jika menggertak orang yang lebih tua maka biasanya ditegur oleh teman sebaya dengan kalimat aja muappakoro macai matu puangnge (janganlah engkau bersikap demikian sebab tuhan akan marah). Dalam konteks penceramah di masjid, di hadapan jamaah akan menyebut puang Alla Ta Ala dalam ceramahnya untuk sebutan tuhan sang pencipta. Seorang dokter yang sedang mengobati pasien akan memberi motivasi kepada sang pasiennya dengan kalimat puang marajae pasauki lasata (Tuhan yang akan menyembuhkan sakit kita/ anda). Demikian seorang yang tertimpa musibah dengan refleks akan menyebut Puang Alla Taala maraja puang dewata sewaae.
Sapaan Puang kepada Nabi Muhammad SAW juga berbeda yakni Puang Nabitta. Sementara sapaan puang untuk sesuatu yang keramat atau dikeramatkan karena seseorang tersebut telah berjasa misalnya selama hidupnya. Misalnya ia pernah jadi raja yang baik atau ia adalah orang biasa tetapi sifatnya seperti wali atau yang bersangkutan semasa hidupnya memiliki keluarbiasaan dan hingga saat ini biasa terlihat sepintas di hadapan masyarakat biasa. Masyarakat bugis menyebutnya Puang Mallinrungnge (puang yang tidak terlihat) Maksud sapaan tersebut bukan merujuk pada yang bersangkutan sebenarnya tetapi ingin menyebut kekuasaan tuhan tidak secara langsung.
 Adapun sapaan Puang kepada sesama juga memiliki tingkatan kesopanan sendiri. Misalnya ada kalangan masyarakat bugis yang memanggil orang tua mereka dengan sapaan puangku. Puangku I Baco berarti merujuk pada orang tua lelakinya. Pada umumnya sapaan puang dialamatkan kepada kelompok bangsawan atau kelompok menengah ke atas yang memiliki garis keturunan yang jelas. Sapaan puang ini sebagai bentuk penghargaan kepada mereka karena di masa penjajahan keturunan keluarga tersebut memiliki kedekatan dengan pihak pemerintah kerajaan maupun memiliki kedekatan dengan Belanda. Atas kedekatan tersebut mereka dipercayakan pada hal-hal tertentu misalnya dalam hal pendidikan dan sebagai pabbicara (juru bicara). Faktor kedekatan tersebut juga memberi kontribusi bagi masyarakat karena berkat kepandaiannya bisa membantu masyarakat banyak. Sebagian juga sapaan Puang diantaranya merupakan gelar pemberian dari penjajah Belanda, yang hingga kini masih digunakan oleh masyarakat Bugis sebagai bentuk adat istiadat mereka. Konon di masa penjajahan Belanda kelompok Puang ini memiliki keberanian selain faktor kepintaran tadi. Sapaan puang pada kalangan bangsawan ini atau sapaan puang untuk pihak keluarga Bangsawan tersebut dalam hal hal tertentu tidak memandang usia. Meski anak di bawah umur jika mereka memiliki keturunan dari keluarga bangsawan maka mereka akan disapa puang dari keluarga keturunan yang bukan dari kelompok dimaksud.
Berikutnya adalah sapaan puang yang dialamatkan kepada keluarga bangsawan Bugis. Â sapaan puang kepada saudari bapak/ ibunya. Si Ali adalah om dari si Aco maka si Aco harus menyapa si Ali dengan sapaan Puang Ali. Demikian juga berlaku pada tantenya. Sapaan ini merupakan sapaan kesopanan yang berlaku secara umum bagi kalangan masyarakat menengah ke atas dan terkadang tidak berlaku bagi kelas Ata. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Bugis dikenal dengan tiga tingkatan sosial yakni Ana Karung (Bangsawan), To maradeka (orang yang merdeka) dan Ata (adalah kelas bawah). Kelas Ata ini di jaman kerajaan merupakan kelas pekerja yang bukan merupakan kalangan pemimpin, terpelajar, atau pejuang. Namun saat ini tidak ada lagi kelas Ata, karena sudah tidak ada lagi yang dipekerjakan seperti Ata atau budak.
Sapaan puang juga secara umum berlaku bagi seorang anak untuk kepada yang lebih tua, guru di sekolah, pejabat pemerintah (baik bukan dari keturunan bangsawan. Sehingga sapaan puang juga berlaku pada kasus status sosial tertentu. Sapaan puang lainnya yang lazim yang tidak memandang kelas sosial adalah sapaan anak-anak kepada saudara-saudari bapak dan ibuknya (om dan tante), atau sapaan puang kepada sepupu dari kedua orang tuanya. Bagi masyarakat pendatang di Sulawesi atau di tanah Bone sebagai basis peninggalan kerajaan maka tidak heran jika orang-orang pendatang kadang disapa puang sebagai bentuk penghargaan kepada tamu atau bentuk honorifik kepada sesama. Demikian juga di pasar baik pasar tradisional maupun pasar moderen kadang kala kita mendengar sapaan puang kepada Ibu-Ibu atau bapak-bapak yang sedang belanja. Sapaan tersebut berasal dari sang penjual. Biasanya langsung menyapa puang ngaji (Tuan Haji). Hal ini sebagai kesengajaan yang dilakukan takutnya yang bersangkutan (pengunjung) betul berasal dari kelompok sosial yang disebutkan sebelumnya dan jika tidak disapa dengan sapaan puang akan berakibat fatal atas dagangannya. Dalam konteks lain juga yang bisa dijadikan pembenaran bahwa terkadang dalam prinsip berdagang pembeli adalah raja dan dalam konteks masyarakat Bugis pembeli bukan raja tetapi orang yang dihargai, dituakan, dan sebagainya.
Dalam kasus yang berbeda misalnya pada masyarakat dikenal dengan lima identitas gender. Identitas gender tersebut antara lain Orowane (laki-laki. Makkunrai (perempuan), calabai, calalai, dan kelompok gender yang tidak pada keduanya namun dianggap sebagai manusia suci yakni Bissu. Kelompok Bissu ini masih ada hingga sekarang di tanah Bugis dan pusat kerajaan Bissu ada di Segeri Kabupaten Pangkep Sul-Sel dan juga sebagian di Kabupaten Bone. Untuk kelompok Bissu ini sering disapa puang bagi kalangan masyarakat Bugis "yang memahami peran Bissu tersebut dalam hal kebudayaan". Konon peran masyarakat Bissu sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Bugis khususnya di era sebelum masuknya islam. Mereka memiliki sakralitas dalam hal kebudayaan dan ritual. Mereka berposisi sebagai peng-Komunikasi antara masyarakat Bugis Kuno dengan Dewata (Tuhan pencipta). Olehnya itu mereka sebagai mahluk suci. Masyarakat yang lahir sebagai Bissu tidak terlibat lagi dengan urusan politik terlebih dengan urusan keduniawian lainnya. Kepercayaan tersebut masih dipertahankan dan dijaga oleh masyarakat Bugis. Sehingga ketika mereka bertemu dengan Bissu baik di Segeri Pangkep maupun di Bone yang bertugas menjaga benda-benda pusaka serta pelaksana ritual kebudayaan akan disapa Puang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H