Refleksi atas buku "Chef Academica" karya "Ali Audah"
Ada hal unik, saya temukan dalam buku Chef Academica ditulis oleh Ali Audah  (oleh Penerbit Araska Yogyakarta, 2019) ini bahwa ia seperti buku saku. Ia menuntun pembacanya, dimulai dari cara membaca, situasi membaca dan waktu mengimplementasikan hasil bacaan. Beda dengan buku-buku ilmiah dan novel, dalam buku ilmiah kita dituntut mengetahui cara terbaik untuk membaca buku, Novelpun demikian kita dituntut untuk memahami pesan moral, tokoh dan ketokohan, menafsirkan bahasa dan symbol metaforis lainnya, sederhanya keduanya mengharuskan membaca keseluruhan dan sebaiknya dimulai dari awal hingga akhir. Setidaknya dalam buku Chef Academica adalah karya kontemporer, menggabungkan kedua aspek keilmihan dan kesusastraan melalui cerita-cerita. Saya berasumsi bahwa Chef Academica merupakan dedikasi penulis kepada ilmu pengetahuan, organisasi dan keluarga.
Kenapa kemudian ia harus mendedikasikan dirinya untuk sesuatu (banyak) hal, tidak memilih kepada satu hal saja seperti kepada pengetahuan,  ke-organisasi-an saja, ataukah memilih jalan tengah dengan bersifat egois dan apatis yaitu memilih jalan keluarga saja. Namun beda dengan Ali Audah, ia mendedikasikan dirinya pada tiga hal tersebut (tercermin dalam 9 isi cerita). Jika boleh saya katakan bahwa karya ini berdiri pada jangkar ilmu pengetahuan modern, kemampuan managerial organisasi serta kemampuan soft skill penulis. Kesuksesan penulis tergambar dalam permainan tulisan seperti teka teki pengetahuan dan keluarga; dimulai dari hal filosofis hingga ke teknis  permasalahan dan penyelesaian masalah.
Menyoal keluarga atau family (Inggris), "familia" (latin), saya meminjam istilah Alwy Rachman (sosiolog) bahwa keluarga sebagai "household servants" "pembantu rumah tangga". Â Dia mengartikan keluarga sebagai sebuah institusi pembantu rumah tangga, tanpa terkecuali bagi siapun dalam rumah tangga tersebut baik anak, ayah dan ibu. Ali Audah sebagai Ayah dalam Chef Academica menjalankan peran ganda baik sebagai professional di luar maupun dalam rumah tangga juga sebagai pelaku dalam pesan pesan Robandinian berupa keberlangsungan ilmu pengetahuan dalam mengikuti evolusi/ revolusi peradaban dan kebudayaan, kini lebih akrab dikenal dengan literasi. Paling utama dalam literasi adalah dedikasi pengetahuan. Atau jalan istiqomah dalam mereproduksi pengetahuan kemudian mendiskusikan sesuatu hal bermanfaat dengan dasar pengetahuan. Berbicara terkait literasi, masih menakar pandangan Alwy Rahman dalam tulisannya "Literasi Tiga Jendela (1/2019) ia menilai bahwa Literasi sejak abad 15 telah meninggalkan akarnya dari definisi kaku, literasi kini sebagai aksi dalam membaca dan memahami gerak gerik peradaban dan keadaban. Literasi Tiga jendela ia maksud yaitu cakrawala sebagai jendela pertama, membuka tabir (lanjutan dari revolusi industri) sebagai jendela kedua dan literasi tentang otak sebagai jendela ketiga. Pertama, cakrawala atau era amarah akan tetap ada dan akan kemana mana menyebar, sebut amarah sebagai mitos merefleksi diri menjadi teks dongeng. Amarah kita juga demikian terkadang merefleksi menjadi sebuah catatan dan bahan renungan. Kedua, Â membuka tabir atau kelanjutan dari revolusi industri secara empiric dapat dijumpai dari hasil evolusi ke revolusi, misalnya revolusi industry I, II, III hingga saat ini revolusi industry ke IV. Dalam literasi kita sebut sebagai era cyber atau era digital. Dengan era tersebut semakin membuat zaman ber-erupsi karna jarak sosial semakin renggang. Hubungan sosial kini semakin renggang dan lebih mudah terkoneksi dengan komunikasi cyber tadi. Ketiga, literasi tentang otak, dimana selalu menjadi perdebatan antara dominasi otak kiri atau otak kanan serta pemenangnya siapa padahal paling penting adalah kemampuan pemilik otak dalam mengikuti perintah otak.
Chef Academica ditulis dengan 10 kisah berbeda dalam satu ruang dan saling terkait satu sama lain seperti menu pembuka dengan sajian bergizi. Tak lain adalah menu bagi anak dan generasinya, bahwa asupan gizi dalam keluarga sangat penting sehingga peran gandapun terjadi bagi penulis untuk mengumpulkan amunisi gizi hingga menyuapkan gizi kepada anak. Menu dan asupan gizi dimaksud di sini tak lain adalah pengetahuan agama, pengetahuan umum, jalinan kasih sayang dan re-orientasi anak. 9 kisah lainnya (isi) menggabungkan filsafat pengetahuan umum dan korelasinya dengan konteks kebudayaan kita. Sehingga hadirnya Chef Acedemica merupakan perkawinan dari tiga jendela literasi tersebut. Saya menyebutnya selaksa mentari menyinari perjalanan saya setelah membaca beberapa hal bersinggungan dengan proses hidup saya. "3 years sitting on A Rock" Tiga tahun duduk di atas sebuah bongkahan batu cadas, sebagai sebuah ungkapan filosofis dan juga penyemangat hati ketika baru memulai suatu usaha harus sabar dalam berproses.
Sebagaimana beberapa kumpulan syair/ puisi tidak akan indah tanpa cinta dan rindu, novel tidak akan seru ceritanya tanpa hubungan kasih, konflik kemudian kemenangan. Begitu juga sinetron dan telenovela tanpa lika liku tokoh dan percintaan serta pencitraan tokoh maka ibaratnya stasiun TV tanpa iklan. Hal tersebut tentu garing, hampa bagi pembaca dan viewers. Lain dengan Chef Academica berani keluar dengan identitas literasi popular meski belum begitu populis pada generasi pemain gadget dan pemain golf. Ali Audah tetap berupaya menyembunyikan kisah atau perjalanan hidupnya sehingga tidak ada klimaks-antiklimaks pada tingkatan perjalanan hidup. Namun kebahagian dan proses bahagianya dapat ditemukan pada dinding-dinding syair, potongan-potongan ayat para filsuf, aroma kopi, sofa dan warung kopi, bumbu dapur, racikan minuman dan masakan. Begitulah mempesonanya setelah melewati aroma kopi diracik lalu diminum guna menghilangkan sedikit penak masalah, atau dibaca untuk berpura pura bahwa kita sesungguhnya adalah manusia dengan segudang masalah. Tentu beruntung jika kita mampu keluar dan menemukan kunci dari gudang (masalah tersebut).
Karya ini juga dapat dinilai dari kedua ulasan; prolog dan epilog; prolog dengan perspektif filosofis bangunan kapal seperi kapal nabi Nuh memuat semua mahuk disertai dengan kitab suci peyejuk hati bagi para mahluk, ditambahkannya lagi penuntun bagi para mahluk tersebut mencicipi sajian filosofis atas buku tersebut. Epilog "Metamorfose Generasi" memuat evolusi dan revolusi serta transformasi kebudayaan dari generasi X hingga meloncat ke generasi Z. Evolusi dan revolusi tentu berbeda; evolusi meleket pada Charles Darwin, Erasmus dan Aristoteles sementara Revolusi bermakna lain dengan keharusan perubahan. Sebuah loncatan pada masyarakat X ke Y, Z membutuhkan transformasi imaginatif serta penggabungan otak kanan dan otak kiri secara bersamaan kadang pula bergantian. Â Salah satu kritukus Sastra Jacques Derrida, bahwa dalam menafsirkan teks-teks filosofis ia kemudian mencari kelemahan teks tersebut dengan tujuan ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa tidak ada makna teks stabil dengan kata lain fleksibel. Atas penafsiran tersebut maka hukumnya sah sah saja bagi semua kalangan dalam menafsirkan teks teks. Termasuk Chef Academica merupakan hasil penafsiran atas teks teks sebelumnya diamana telah dikunyah renyah kemudian dia mengharapkan kita menelan rapi agar dapat melahirkan teks teks bebas pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H