Sudah cukup saya dihina sebagai pecundang, menelan ludah dan selalu gagal dari masalah jodoh. Ini saatnya saya harus bisa menunjukan bahwa saya bisa.
Bayang-bayang gadis jilbab berbaju merah kembali melesat ke hadapan saya, sambil menahan tawa dengan pandangan yang terus memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung jempol kaki. Entahlah apa yang ada dibenaknya.
“Maaf, Neng. Kenapa ya? Kok ngeliatin saya kayak yang naksir gitu?” Geer itu manusiawi.
“Ih... Ngimpi....” sinis tapi pasti. “Kamu ngompol ya, celana di depan tuh basah kuyup!” Sang gadis jilbab berbaju merah langsung ngibrit bak kesetanan. Mungkin tepatnya ketakutan.
“Waduh!” tepok jidat. Ternyata memang benar, nampaknya bekas tabrakan tadi yang membuat gelas berisi kopi berantakan.
“Din, Lo mau nyuci, apa mau ngelamun?” samar namun terdengar jelas. “Kalo mau ngelamun jangan di sini. Kerjaan lo itu di sini itu nyuci piring.” Teriakan keras itu tidak lain adalah Ujang. Teman seprofesi yang juga senasib.
Untuk kesekian kalinya hukuman ini saya terima dengan lapang dada karena memecahkan gelas. Contohnya hari ini, 3 gelas sudah rekor gelas yang sudah terpecahkan.
Gelas pertama, Pecah karena memang ditabrak oleh salah satu pelanggan yang terburu-buru.
Gelas kedua, pecah karena tersandung kursi. Ehem.. aslinya sih memang bukan tersandung tetapi ditabrak karena engga hati-hati
Gelas terakhir, pecah karena saat membawa gelas tiba-tiba terpana oleh pandangan mata yang tertuju pada mahasiswi yang kebetulan duduk dengan paha terbuka. Dan lagi akhirnya tersandung kursi.
Bekerja di sebuah cafe yang selalu ramai dikunjungi oleh kaum hawa yang beningnya rupa-rupa membuat saya gigit jari. Namun apalah daya hingga kini kisah cinta itu berakhir tragis. Bukan karena engga punya pulsa ataupun engga ada modal tampang, tetapi memang gebetan yang sedang jadi incaran selalu jatuh ke tangan yang salah.
Saya ingat wejangan dari sahabat yang sudah dekat dari masa sekolah dulu.
“Kesalahan lo cuman satu. Selera lo terlalu tinggi”
Apakah benar? Padahal tipe gadis yang selalu jadi incar saya adalah yang biasa-biasa aja deh.
1.Cantik dan seksi, kata emak untuk memperbaiki keturunan.
2.Kaya raya minimal anak pejabat, biar emak engga susah lagi.
3.Solehah, minimal hafal Quran 30 Juz.
Nah, paling sering ketemu dari 3 syarat itu nomer 1 sama 2 paling banyak. Kalo nomer 3 bisanya musti saingan sama ustadz-ustadz yang udah kelas kakap.
“Jang, Besok saya resign dari cafe ini” Akhirnya keputusan yang sudah terpikirkan 6 bulan lamanya tidak dapat dipendam lagi.
“Ya sudahlah mau gimana lagi, Din. Udah ada bayangan mau pindah kemana?”
“Belum sih, Kayaknya pengen jadi enterprenur aja dah”
“Busyet dah punya modal lo?”
“Udah” dengan penuh keyakinan.
“Berapa juta, bro?”
“100 juta tetapi dalam mimpi” Sambil mengakhiri tugas hukuman cuci piring dan beranjak pergi.
“Stressss”
***
Hari itu adalah hari terakhir saya bekerja di cafe dan pulang kampung sambil membawa 3 lembar uang ratusan ribu. Dengan harapan semoga di desa lebih baik daripada kota. Selain bisa menjaga emak juga mendapatkan jodoh disana.
Berselang waktu tidak jauh dari desa dimana tempat saya tinggal, ternyata tersiar kabar ada sebuah gadis kembang desa, anak kyai Usman yang lumayan jadi incaran para santri dan ustadz.
“Yang bener, Ton?”
“Serius, Din. Katanya sih udah banyak yang ngelamar tuh cuma Kyai Usman masih nunggu calon yang pas”
“Memangnya yang pas kayak gimana?”
“Engga tahu deh”
Karena rasa penasaran akhirnya saya mencoba melamar di sana. Ya tentunya melamar menjadi santri sambil melihat kebenaran seperti apa rupa sang kembang desa.
Ini bukan kebetulan kemauan saya tetapi emak menyuruh saya kembali belajar agama sekalian siapa tahu bisa jadi ustadz sebagai penganti kakek yang kebetulan memiliki title sesepuh di desa Dongdong.
“Din, Gimana besok jadi ke tempat pesantren Kyai Usman?”
“Jadi, mak”
“Belajar perdalam lagi agama, cuma inget nanti, disana juga bakal dibimbing lahir dan batin juga”
“Iya, mak”
Terbersit dalam angan saya untuk mempelajari ilmu kebatinan, siapa tahu bisa jadi orang pinter yang bisa pasang iklan jasa spiritul nanti di internet. Biar desa ini terkenal sekalian.
“Kira-kira diturunin ilmu begituan engga, mak? kayak Ua Rahmat yang jago nerawang jarak jauh”
“Jangan harap nanti belajar begituan. Emak takut nanti engga kesampaian. Kalo belajar gitu ke emak aja”
“Yang bener, mak. Emang Emak bisa juga?”
“Bisalah, tuh pake pipa paralon nerawangnya.”
“Busyet”
“Jauh-jauhin dah pikiran kayak gitu. Gimana mau ikhlas nanti ibadahnya, Din. Kalo niat udah jelek gitu”
“Iya, Mak”
Nampaknya obrolan pun sudah tidak saya perpanjang karena terlanjur malu.
***
Belum sepekan tinggal di pondokan santri Kiyai Usman, di sebuah siang yang kebetulan saya mengantar sang ustadz Uki ke kediaman sang Kyai, saya berpapasan dengan gadis yang nampaknya salah seorang santriwati tidak asing lagi. Pernah mengenal entah dimana, terutama baju merahnya yang khas.
“Kamu kenapa lihatnya seperti itu?” tanya gadis itu bingung begitu tahu dirinya sedang saya diperhatikan secara detil. “Bukan muhrim tahu!” teriak ketus.
“Nanti juga muhrim, Neng. Kalo si Neng jadi Istri Aa”
Sang Gadis langsung kabur dengan tatapan penuh ketakutan.
“Eh, Lo, Din. Itu calon bini ane, jangan coba-coba deh” pukulan kecil tiba-tiba mendarat di pundak belakang.
“Oh, Maaf Ustadz, saya engga tahu. Cuma bingung pernah lihat tapi dimana ya?”
“Eh, Jangan sama’in sama cewe yang ada di kota, Din. Yang gampang dirayu sama Lo”
“Kata siapa gampang dirayu. Saya setiap ngerayu gagal mulu”
“Kok bisa?”
“Iya, pasti jawaban yang di dapet pas udah ngerau itu. Gombalnya oke sih, tapi sayang bukan level gue”
“Kebangetan. Musti mandi kembang 7 rupa Lo, Din”
“Manjur engga, nih?”
“Manjur, asal pas mandi engga napas 5 Jam” ustadz Uki melipir pergi meninggalkan sejuta tanya.
“Ustadz Uki tunggu. Waduh” sambil saya mengejar menuju sebuah ruang tamu Kyai Usman. Dimana kebetulan disana udah ada beberapa orang yang hadir.
Sambil memperhatikan ke sekeliling yang ada di ruang tamu nampaknya ini bukan pertemuan biasa.
“Ini ada apa memangnya, Ustadz” tanya saya penasaran ke Ustadz Uki.
“Ini lagi seleksi calon mantu. Di sini semua para para kandidat Idol mantu Kyai Usman”
“Waduh saya bukan salah satu peserta ya?”
“ Ngimpi Lo sono di tiang listrik. Enak aja mau jadi saingan. Udah tahap seleksi akhir nih sejak sebulan yang lalu”
Ustadz Uki mungkin engga rela tambah pesaing. Karena jumlah kandidatnya sekarang aja sudah 20 finalis
“Udah sono, Lo bikin kopi dah buat kita-kita”
“Kok saya?”
“Ya dulu kan pernah kerja di cafe dan Lo bisa bikin kopi, kan?”
“Engga bisa, orang cuma nganter-nganter doang”
Tiba-tiba keluarlah Kyai Usman dengan memberi salam kepada yang hadir di situ.
“Oh iya, Din. Tolong bawa kitab ini ke Majlis ya” titah kyai Usman yang nampaknya ditujukan kepada saya.
“Iya, Kyai”
Dalam perjalanan menuju Masjid. Kembali berpapasan dengan 3 santriwati yang salah satunya sudah hapal betul. Ya gadis yang sebelumnya kabur ketakutan.
“Neng” tebar sapa genit.
“Yuk, buruan” nampaknya si baju merah sudah ingin beranjak pergi buru-buru.
“Ntar, kenapa” salah satu temannya yang memang sudah saya kenal pas begitu datang ke pondok pesantren ini.
“Ya udah, saya duluan” Jawab si baju merah. Lagi-lagi kabur menghindar.
“Put, memangnya siapa sih dia? Rasa-rasanya pernah ketemu dimana gitu” Tanya dengan rasa penasaran.
“Itu Husnul khatimah, putri satu-satunya Kyai Usman”
“Owww..... Yang mau jadi hadiah mantu kyai Idol itu”
“Haaa Hadiah Mantu Kyai Idol? Hihi... emangnya Dia penghargaan yeee....”
“Ya udah, saya ketempat pak kyai dulu ya” menghindar sambil membiarkan kedua santriwati, puput dan temannya yang tersenyum-senyum.
Saat menuju ruang tamu yang kebetulan melewati sebuah jendela kamar, ternyata di dalamnya ada seseorang yang sedang berganti baju. Secara refleks saya pun berjalan sambil mengamati dengan seksama.
“GUBRAKSSSSS”
“Gumpranggggggg”
“Astagfirullah....”
“Masya Allah”
Dalam hitungan detik saya tanpa sadar sudah ada di posisi yang aneh. Di mana ternyata saya sedang memeluk sesosok gadis yang ternyata adalah Husnul khatimah, putri Kyai Usman dan dengan bibir yang bersentuhan.
Di sampingnya pecahan gelas terserakan di lantai dengan disaksikan oleh 20 finalis yang sedang menatap nanar terutama Kyai Usman. Secara refleks juga semua yang berada disitu berusaha membantu untuk menolong dan membangunkan gadis idamannya.
“Nampaknya Allah telah memberikan petunjuknya”
“Apa itu Kyai?” Tanya Ustadz Uki sambil memapah Sang kekasih hatinya, Husnul Khatimah.
“Din, Nampaknya kamu harus menikahi Putri saya Husnul Khatimah dengan kejadian tadi” Spontan Kyai Usman mengagetkan seluruh yang hadir di situ.
“Kyai itu khan engga sengaja”
“Yang benar aja, Kyai. Udin bukan orang yang pas. Belum berkompeten dibanding ustadz-ustadz di sini”
Protes beberapa ustadz yang tidak terima dengan keputusan kyai usman.
“Udin udah mencium Husnul khatimah, maka dia harus bertanggung jawab dunia akhirat. Apalagi hal itu dilakukan di depan umum. Maka wajib bagi Udin untuk menikahinya sebelum datang fitnah. Lagipula saya sudah dapat firasat begitu ketemu dengan dia” Tegas kyai Usman.
“Te.. tetapi saya... benar kata yang lain saya belum cukup ilmu dan lagipula saya belum hafal quran, Kyai?”
“Selama 1 tahun nanti kamu saya gembleng, Din” jawab Kyai Usman. Karantia 1 tahun buat jadi Mantu Kyai Idol. Waduh.
“Haaaaaaa” Ustadz Uki langsung lemas lutut.
***
Pasca 1 tahun di Bulan ramadhan.
“Neng, Ridho jadi Istri Akang?”
“Insya Allah, kang. Selama itu bukan mimpi, Kang. Dan Akang engga ngompol lagi”
“Maksudnya?”
“Kayak Neng waktu ada kegiatan di Kota pernah ketemu Akang di Cafe pas mau makan siang dan matanya puasa juga engga lihat-lihat aurat mahasiswi yang kebuka sembarangan”
“Waduh kayaknya mimpi deh kalo gitu”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H