Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan sarjana ekonomi dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Utang Publik Indonesia: Beban yang Dapat Dikelola atau Risiko yang Meningkat?

21 Desember 2024   07:11 Diperbarui: 21 Desember 2024   07:11 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dalam Peletakan Batu Pertama Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung dengan Pembiayaan Utang dari Tiongkok (Tribun Sumsel)

Utang pemerintah terdistribusi di antara investor juga mencerminkan lingkungan pendanaan yang masih sehat dan stabil, dengan investor domestik memegang 62,89% dari keseluruhan utang pemerintah Indonesia, sehingga mengurangi paparan terhadap volatilitas pasar global. Namun, investor asing yang memegang utang pemerintah sebesar Rp3.191,81 tetap penting dengan partisipasi yang meningkat dari 36,61% pada Q1 2024 menjadi 37,11% pada Q2 2024. Peningkatan ini tetap terjadi meskipun pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengamanatkan perusahaan asuransi untuk menginvestasikan 30% dari portofolio mereka pada obligasi pemerintah dan penerbitan obligasi ritel yang semakin ditingkatkan untuk menarik investor lokal. Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) menunjukkan bahwa prioritas strategis pemerintah terdistribusi pada sektor jasa kesehatan manusia dan layanan sosial (20,9%), administrasi publik dan pertahanan (18,8%), pendidikan (16,8%), konstruksi (13,6%), serta asuransi dan layanan keuangan yang menyumbang 9,5% dari alokasi utang. Distribusi ini mencerminkan fokus ganda Indonesia pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial, menyeimbangkan perluasan infrastruktur dengan investasi modal manusia.

Utang Luar Negeri Pemerintah Berdasarkan Sektor Ekonomi (SULNI, Q2 2024)
Utang Luar Negeri Pemerintah Berdasarkan Sektor Ekonomi (SULNI, Q2 2024)

Utang luar negeri pemerintah tersebut paling banyak berasal dari sektor swasta sebesar 70,94%, termasuk dari bank komersial, pemasok, SBN domestik, dan SBN internasional. Kerja sama bilateral berkontribusi sebesar 7,58% dengan kreditur utama meliputi negara Jepang sebesar $7,44 miliar (atau setara Rp121,27 triliun), Prancis $4,37 miliar (Rp71,23 triliun), Jerman $3,81 miliar (Rp62,10 triliun), Tiongkok $1,43 miliar (Rp23,31 triliun), dan Australia $1,04 miliar (Rp16,95 triliun). Selain itu, lembaga multilateral juga berkontribusi sebesar 17,27% terhadap utang luar negeri pemerintah melalui Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) sebesar $21,35 miliar atau setara Rp348,01 triliun, ADB $10,56 miliar atau Rp172,13 triliun, IMF $8,46 miliar atau Rp137,90 triliun, Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) $2,99 miliar atau Rp48,74 triliun), dan Bank Pembangunan Islam (IDB) $1,28 miliar atau Rp20,86 triliun. Utang luar negeri tersebut digunakan sebanyak 17,95% untuk mendukung program-program dan 19,87% untuk proyek-proyek pemerintah.

Negara-negara Kreditur Utama Indonesia (SULNI, Q2 2024)
Negara-negara Kreditur Utama Indonesia (SULNI, Q2 2024)

Risiko dalam Utang Pemerintah

Rasio utang terhadap PDB Indonesia sampai saat ini masih relatif moderat sebesar 29,87%. Meskipun demikian, sejumlah risiko ekonomi dan keuangan tetap menjadi ancaman keberlanjutan utang publik negara ini. Volatilitas suku bunga merupakan salah satu risiko yang paling signifikan, mengingat ketergantungan pemerintah pada surat utang. Meningkatnya suku bunga global dapat meningkatkan biaya pinjaman, sehingga membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai sektor-sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Jika suku bunga naik terlalu tajam, belanja publik dapat dikurangi, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi. Risiko mata uang merupakan kekhawatiran utama lainnya akibat porsi utang dalam mata uang asing yang mencapai 29,07%. Depresiasi Rupiah terhadap mata uang utama dunia dapat meningkatkan biaya pembayaran utang, sehingga mengurangi ruang fiskal untuk pengeluaran penting lainnya. Risiko ini semakin diperparah oleh rasio utang terhadap ekspor Indonesia yang relatif tinggi sebesar 130,46%, yang menunjukkan bahwa pendapatan ekspor mungkin akan kesulitan untuk menutupi pembayaran utang luar negeri, terutama selama gangguan perdagangan atau fluktuasi harga komoditas.

Lembaga Multilateral yang Menjadi Kreditur Utama Indonesia (SULNI, Q2 2024)
Lembaga Multilateral yang Menjadi Kreditur Utama Indonesia (SULNI, Q2 2024)

Ketergantungan ekspor membuat Indonesia rentan terhadap guncangan ekonomi global, terutama di sektor-sektor seperti ekspor minyak kelapa sawit, batu bara, dan karet. Fluktuasi harga komoditas global dapat mengganggu pendapatan ekspor, sehingga mengurangi kemampuan pemerintah untuk membayar utang luar negerinya. Ketergantungan eksternal ini menggarisbawahi pentingnya diversifikasi pasar ekspor dan mengurangi ketergantungan pada komoditas yang tidak stabil. Ketergantungan pada pinjaman luar negeri juga dapat menimbulkan tantangan tambahan. Meskipun pinjaman ini menawarkan pembiayaan yang stabil, pinjaman ini membuat Indonesia terpapar pada risiko geopolitik, perubahan kondisi kredit global, dan kebijakan pemberi pinjaman. Gangguan apa pun pada saluran pembiayaan luar negeri ini dapat membahayakan stabilitas fiskal Indonesia dan memaksa pemerintah untuk meminjam dengan suku bunga yang lebih tinggi.

Keberlanjutan Utang dan Pentingnya Penyesuaian Kebijakan

Memastikan keberlanjutan utang Indonesia memerlukan strategi fiskal multi-aspek yang berfokus pada perolehan pendapatan, diversifikasi utang, dan belanja publik yang efisien. Memperkuat pengumpulan pendapatan domestik harus menjadi prioritas utama. Pemerintah harus memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan pajak, dan memodernisasi sistem administrasi perpajakan. Akan tetapi, pemberlakuan kebijakan pajak baru berpotensi menciptakan gejolak publik, terutama dari kalangan masyarakat ekonomi menengah yang berkontribusi hingga lebih dari 50% dari pajak negara (LPEM, 2024). Diversifikasi utang akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada pinjaman luar negeri. Memperluas pasar obligasi domestik melalui produk inovatif seperti obligasi hijau, dana investasi infrastruktur, dan obligasi pemerintah ritel dapat menarik investor institusional dan ritel. Mempromosikan literasi keuangan di kalangan masyarakat dapat lebih memperdalam pasar modal lokal dan meningkatkan mobilisasi tabungan domestik, terutama dengan potensi pasar Indonesia yang masih sangat besar. Belanja publik harus dioptimalkan dengan memilih proyek-proyek berdampak tinggi dengan keuntungan ekonomi yang jelas. Pemerintah harus memastikan transparansi pengadaan, mengurangi keterlambatan proyek, serta mengadopsi praktik terbaik internasional dalam pemantauan dan evaluasi proyek. Memperluas kemitraan publik-swasta (KPS) juga akan membantu membagi risiko proyek dengan sektor swasta sekaligus mengurangi beban fiskal langsung. Mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri tetap penting. Memperkuat pemantauan utang melalui analisis data tingkat lanjut dan penilaian keberlanjutan utang secara berkala akan memungkinkan deteksi dini risiko fiskal dan pembuatan kebijakan yang lebih responsif. Strategi fiskal terkoordinasi yang menekankan transparansi, efisiensi, dan investasi strategis akan mengubah utang publik Indonesia dari potensi kewajiban ekonomi menjadi mesin pertumbuhan yang berkelanjutan.

Utang publik Indonesia memang belum berada pada titik kritis, dengan kemampuan pemerintah melalui Kementerian Keuangan RI menyeimbangkan ambisi pertumbuhan dengan tanggung jawab fiskal. Sementara rasio utang terhadap PDB negara ini masih relatif rendah, meningkatnya tingkat utang, risiko mata uang, dan ketergantungan pasar global menggarisbawahi perlunya pengelolaan fiskal yang bijaksana, terutama dengan program-program subsidi baru dari pemerintah pusat. Dengan menjalankan kebijakan fiskal yang transparan, mendiversifikasi sumber pembiayaan, dan mengoptimalkan praktik pengelolaan utang, Indonesia dapat mengubah utang publiknya menjadi pendorong kuat pembangunan ekonomi berkelanjutan sekaligus meminimalkan risiko keuangan jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun