Pendanaan pendidikan merupakan faktor kunci dalam menentukan kemajuan sosial-ekonomi suatu negara, tetapi sering kali dihadapkan pada inefisiensi dan salah prioritas. Klaim Presiden Prabowo tentang anggaran pendidikan Indonesia, bersama dengan perbandingan dengan negara-negara global dan regional dalam acara penyerahan secara digital Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) Tahun Anggaran 2025, serta peluncuran Katalog Elektronik versi 6.0, yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa, 10 Desember 2024, memberikan peluang untuk analisis hubungan kompleks antara alokasi anggaran dan metrik pendidikan di Indonesia. Meskipun klaim tersebut memiliki elemen kebenaran, analisis yang lebih mendalam mengungkapkan realitas yang lebih rumit, kelemahan sistemik, dan peluang yang terlewatkan yang menghambat kemajuan pendidikan Indonesia.
Anggaran Pendidikan Rekor pada 2025: Nominal Tinggi, Dampak Terbatas
Klaim Presiden Prabowo bahwa anggaran pendidikan Indonesia pada 2025 akan mencapai rekor sebesar Rp724,3 triliun memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Dibandingkan tahun anggaran 2024, anggaran belanja negara Indonesia untuk pendidikan 2025 juga tumbuh cukup signifikan sebesar 8,92%, serta mencerminkan kepatuhan terhadap mandat konstitusi yang mewajibkan 20% dari anggaran nasional dialokasikan untuk pendidikan. Pertumbuhan nominal ini merupakan pencapaian yang layak dibanggakan, terutama di tengah tekanan fiskal dan prioritas bersaing lainnya. Namun, angka ini, meskipun mengesankan di atas kertas, menyembunyikan masalah yang lebih dalam yang membatasi potensinya untuk mentransformasi pendidikan Indonesia.
Kenaikan anggaran pendidikan sebagian besar disebabkan oleh penyesuaian Produk Domestik Bruto (PDB) yang diproyeksikan tumbuh antara 4,8 sampai 5,6% dan peningkatan pendapatan negara sebesar 7,25%, bukan karena upaya yang ditargetkan untuk memperbaiki sistem pendidikan. Dalam APBN 2025, pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp3.005 triliun dan belanja ditargetkan mencapai Rp3.621 triliun, naik sebesar 6,23%. Rasio anggaran pendidikan dibandingkan dengan total anggaran belanja negara masih tetap saam sebesar angka minimum yang diwajibkan konstitusi yang telah berjalam sejak tahun 2009. Selain itu, rasio antara anggaran belanja pendidikan negara juga tetap tidak berubah secara masif, diproyeksikan sebesar 3% dibandingkan dengan PDB untuk tahun anggaran 2025. Bahkan, rasio anggaran pendidikan dengan PDB dalam 10 tahun terakhir bisa dikatakan tidak banyak berubah, antara 2,9 hingga 3,6%, menandakan stagnasi daripada prioritas progresif.
Kurangnya hubungan yang jelas antara peningkatan pengeluaran dan hasil pendidikan yang lebih baik juga menimbulkan kekhawatiran serius tentang pemanfaatan anggaran pendidikan. Sasaran kuantitatif, seperti angka partisipasi siswa masih mendominasi agenda, sementara faktor-faktor kualitatif seperti hasil belajar dan kinerja guru masih kurang mendapat perhatian. Tanpa reformasi yang berarti, rekor anggaran pendidikan Indonesia berisiko menjadi pencapaian simbolis daripada kekuatan transformasi.
Perbandingan Global: Dinamika Belanja Pendidikan Publik di Amerika Serikat dan India
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Prabowo juga mengklaim bahwa anggaran pendidikan publik yang menjadi prioritas utama di Indonesia memiliki tren yang berbeda di Amerika Serikat (AS) dan India. Beliau menyatakan bahwa pengeluaran pertahanan AS melebihi pengeluaran pendidikan, suatu penyederhanaan yang mengabaikan sifat desentralisasi sistem pendidikan AS. Pemerintah federal AS sendiri mengalokasikan $874 miliar untuk pertahanan pada tahun fiskal 2024, masih lebih rendah dengan anggaran pendidikan publik K-12---menggabungkan kontribusi federal, negara bagian, dan lokal---yang mencapai $878,2 miliar.
Struktur pendanaan yang kompleks ini menunjukkan investasi signifikan dalam pendidikan yang sebenarnya melebihi pengeluaran pertahanan jika dilihat secara holistik. Selain itu, AS menghabiskan rata-rata $17.700 atau sekitar Rp 285,53 juta per siswa, jauh melampaui investasi per siswa di Indonesia yang diperkirakan hanya mencapai Rp13,63 juta (dengan asumsi 53,14 juta siswa, belum termasuk mahasiswa). Kontribusi pemerintah federal yang relatif kecil (13,6% dari total anggaran pendidikan K-12) menyoroti pentingnya pemerintah negara bagian dan lokal dalam penyelenggaraan pendidikan publik di Indonesia. Dengan mengabaikan kompleksitas ini, klaim Prabowo mendistorsi realitas pendanaan pendidikan AS dan implikasi luasnya bagi pengembangan sumber daya manusia, dibandingkan dengan pertahanan nasional.