Ekonomi Indonesia, yang dikenal sebagai negara berkembang yang penuh dengan potensi, kini terjebak dalam jaring kebijakan fiskal yang keliru di bawah kepemimpinan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Dengan memberlakukan pajak yang memberatkan rumah tangga, mengejar pengeluaran yang tidak produktif, dan sangat bergantung pada utang luar negeri, pemerintah telah membelenggu pertumbuhan ekonomi bangsa. Ideologi sosialisme, yang memprioritaskan redistribusi daripada produksi, perlahan-lahan melemahkan daya saing dan vitalitas ekonomi Indonesia.
Pajak yang Naik: Beban yang Salah Sasaran bagi Rumah Tangga
Keputusan pemerintah untuk meningkatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% pada tahun 2024 menjadi 12% pada tahun 2025 menunjukkan ketergantungan yang meningkat pada pajak rumah tangga untuk membiayai pengeluaran publik. Sejak 2020, negara ini telah mengalihkan fokus fiskalnya ke pajak penghasilan dan konsumsi untuk mengimbangi pendapatan yang menurun dari sumber lain. Strategi ini, bagaimanapun, bersifat regresif dan merugikan keadilan ekonomi. Dengan mengenakan pajak pada konsumsi---pengeluaran yang tidak dapat dihindari bagi mayoritas rakyat Indonesia---pemerintah secara tidak proporsional memengaruhi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok.
Sebaliknya, pajak korporasi terus diturunkan, dari 25% pada tahun 2020 menjadi 22% pada tahun 2024. Penurunan ini, yang diklaim sebagai upaya untuk meringankan beban keuangan bisnis dan mencegah PHK, menciptakan kesenjangan yang mencolok. Sementara korporasi menikmati keringanan, rakyat biasa dipaksa menanggung beban pajak yang lebih berat. Kebijakan ini tidak hanya memperlebar ketimpangan tetapi juga menekan konsumsi rumah tangga, yang merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Masalah Pengeluaran: Anggaran yang Membengkak dan Prioritas yang Salah
Pengeluaran pemerintah terus meningkat dari tahun ke tahun, namun alokasi dana ini menunjukkan banyak ketidakefisienan. Pada tahun 2023, pembayaran bunga utang saja mencapai 20% dari total pengeluaran pemerintah, menjadikannya pos anggaran terbesar. Gaji pegawai negeri dan belanja barang masing-masing menyerap 18% dan 19% anggaran. Secara keseluruhan, kategori ini menyumbang 57% dari seluruh pengeluaran, menyisakan sedikit ruang untuk investasi penting di bidang infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Yang paling mengkhawatirkan adalah rendahnya proporsi belanja modal dalam anggaran nasional. Meskipun Indonesia sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, investasi di bidang ini tetap sangat minim, terutama jika dibandingkan dengan beban utang yang terus meningkat. Pemerintah tampaknya lebih banyak menghabiskan uang untuk mempertahankan birokrasi daripada membangun fondasi untuk kemakmuran jangka panjang.
Ketergantungan pada Utang: Beban yang Terus Membesar
Indikator utang Indonesia mencerminkan gambaran suram terkait kurangnya pertanggungjawaban fiskal oleh pemerintah pusat. Rasio utang pemerintah terhadap PDB meningkat tajam dari 25% pada tahun 2010 menjadi 39% pada tahun 2023. Begitu pula, kredit swasta sebagai persentase PDB naik dari 26% menjadi 34% dalam periode yang sama. Meskipun utang dalam batas tertentu dapat merangsang pertumbuhan ekonomi, ketergantungan Indonesia pada utang telah terbukti tidak produktif.
Data menunjukkan dengan jelas bahwa pengeluaran yang dibiayai utang tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Antara 2010 dan 2023, pertumbuhan PDB rata-rata hanya 4,7%, kinerja yang lesu untuk negara berkembang dengan sumber daya melimpah dan tenaga kerja besar. Kontras antara peningkatan utang dan pertumbuhan stagnan ini menyoroti ketidakefisienan kebijakan fiskal pemerintah. Alih-alih menggunakan dana pinjaman untuk mendorong proyek transformasional yang dapat menciptakan multiplier effect, sebagian besar dana justru dialokasikan ke area yang tidak produktif, termasuk pembayaran bunga utang yang mencapai Rp440 triliun pada tahun 2023.