Dengan dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2024 mendatang, sektor keuangan Indonesia hampir bisa dipastikan akan berada di persimpangan jalan.Â
Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia akan menghadapi kombinasi peluang dan tantangan yang berpeluang menentukan masa depan Indonesia hingga beberapa dekade ke depan.Â
Meskipun retorika ambisius Prabowo tentang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, sektor keuangan tampaknya harus bersiap untuk menghadapi turbulensi, kecuali reformasi yang komprehensif dilakukan.
Ketidakpastian Regulasi yang Berpotensi Menghambat Pertumbuhan Keuangan
Meskipun kebijakan deregulasi telah diimplementasikan dalam beberapa tahap, sektor keuangan Indonesia tetap masih diatur secara ketat, utamanya dengan adanya keterlibatan negara secara langsung yang signifikan pada industri perbankan dan pasar modal.
Terlepas dari pertumbuhan sektor ini hingga kuartal II 2024, sistem keuangan sering menghadapi gangguan akibat kerangka regulasi yang tidak jelas dan tidak konsisten.
Perlu diketahui bahwa menurut OJK, industri perbankan Indonesia masih menunjukkan kinerja yang stabil, ditopang oleh capital adequacy ratio (CAR) perbankan yang tercatat di level yang relatif tinggi lebih dari 25%.Â
Selain itu, tingkat profitabilitas perbankan terjaga dengan return on asset (ROA) di atas 2,5% dan net interest margin (NIM) lebih dari 4%. Dari sisi kinerja intermediasi, penyaluran kredit masih mengalami pertumbuhan hingga lebih dari 12% per tahun.Â
Dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami pertumbuhan positif hingga lebih dari 8% per tahun. Meskipun sempat diberitakan naik dibandingkan tahun 2023, rasio non-performing loans (NPL) masih relatif sehat di kisaran antara 2-2,5%.
Akan tetapi, pemerintahan Prabowo belum mengartikulasikan bagaimana dia berencana untuk menjaga stabilitas keuangan atau memperkenalkan reformasi untuk mempertahankan angka-angka ini lebih jauh.Â