Bunuh diri, tindakan mengakhiri hidup sendiri secara sengaja, meninggalkan bayangan panjang di seluruh dunia, yang melampaui budaya, usia, serta latar belakang sosial dan ekonomi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bunuh diri merenggut sekitar 703.000 jiwa setiap tahun, yang setara dengan satu kematian setiap 44 detik. Statistik ini menggambarkan gambaran yang kompleks. Meskipun bunuh diri merupakan salah satu penyebab utama kematian secara global, menjadi penyebab kematian nomor empat di antara usia 15-29 tahun, angka tersebut bervariasi secara signifikan menurut wilayah dan tingkat pendapatan. Negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Korea Selatan (21,2 per 100.000) dan Lithuania (20,2 per 100.000) memiliki beberapa tingkat bunuh diri yang relatif tinggi, menurut laporan WHO tahun 2019. Meskipun demikian, data ini tidak selalu mencerminkan prevalensi pikiran bunuh diri yang lebih besar. Pelaporan yang kurang dan stigma budaya seputar masalah kesehatan mental kemungkinan menjadi faktor dalam tingkat pelaporan yang lebih rendah di negara-negara berpenghasilan rendah, dengan sumber daya pencegahan bunuh diri yang seringkali langka. Di beberapa negara, data mengungkapkan disparitas yang tidak kalah mengejutkan.Â
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, tingkat bunuh diri untuk pria kulit putih 3,9 kali lebih tinggi daripada wanita kulit putih menurut American Foundation for Suicide Prevention (AFSP). Usia juga berperan, dengan bunuh diri menjadi penyebab kematian nomor dua untuk remaja dan dewasa muda berusia 10-34 tahun di AS. Metode bunuh diri juga sangat bervariasi di seluruh dunia. Senjata api menjadi alat paling umum di AS, terhitung lebih dari 50% dari semua kematian akibat bunuh diri menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Sebaliknya, gantung diri menjadi metode yang paling umum di Jepang, diikuti oleh bunuh diri dengan racun. Keyakinan budaya dan agama juga turut memengaruhi pilihan bunuh diri, dengan beberapa budaya memandang metode tertentu lebih dapat diterima daripada yang lain.
Wajah Keputusasaan yang Beragam: Penyebab dan Faktor Risiko
Jalan menuju pikiran bunuh diri dipenuhi dengan banyak faktor. Kondisi kesehatan mental, terutama depresi, kecemasan, dan gangguan bipolar, merupakan faktor pendukung yang signifikan. Di Jepang, misalnya, istilah "karoshi" mengacu pada kematian akibat terlalu banyak bekerja, yang menyoroti hubungan antara stres dan risiko bunuh diri. Selain itu, penyalahgunaan obat-obatan tertentu seringkali terkait dengan ide bunuh diri, menciptakan sinergi yang berbahaya. Di luar kesehatan mental, determinan sosial memainkan peran yang kuat. Isolasi sosial, perhatian yang semakin meningkat di negara-negara seperti Korea Selatan dengan tingkat "hikikomori" (penarikan diri sosial yang ekstrem) yang tinggi, dapat memperkuat perasaan kesepian dan keputusasaan. Perundungan, faktor yang hadir di seluruh dunia termasuk Indonesia, bisa sangat menghancurkan bagi remaja yang rentan. Selain itu, paparan kekerasan, trauma, dan kehilangan dapat membuat individu kesulitan untuk mengatasinya. Golongan lansia juga menjadi rentan karena perasaan kehilangan, kesepian, dan keterbatasan fisik yang dapat berkontribusi pada pikiran bunuh diri, terutama di masyarakat yang kekurangan sistem pendukung sosial yang kuat untuk lansia.
Kesulitan ekonomi bisa menjadi titik tekanan signifikan lainnya. Krisis keuangan tahun 2008, misalnya, dikaitkan dengan peningkatan angka bunuh diri di beberapa negara. Demikian pula, daerah dengan pengangguran tinggi atau akses terbatas ke pendidikan dan peluang dapat menciptakan perasaan putus asa yang memicu ide bunuh diri. Statistik yang mengejutkan ini hanya mengisyaratkan kehancuran nyata yang disebabkan oleh bunuh diri. Setiap kehidupan yang hilang meninggalkan efek riak berupa kesedihan, trauma, dan pertanyaan yang tidak terjawab bagi orang yang dicintai. Keluarga, teman, dan komunitas sangat terpengaruh, tidak hanya menghadapi rasa sakit emosional akibat kehilangan tetapi juga tantangan praktis dalam menjalani hidup tanpa orang yang mereka cintai. Dampak ekonomi dari bunuh diri juga signifikan. Produktivitas yang hilang, biaya perawatan kesehatan yang terkait dengan upaya bunuh diri, dan kebutuhan perawatan jangka panjang bagi para penyintas semuanya berkontribusi pada beban keuangan yang substansial.
Secercah Harapan: Strategi Pencegahan Bunuh Diri
Meskipun statistik yang ada suram, bunuh diri tentu dapat dicegah. Pendekatan multi-cabang sangat penting untuk mengatasi masalah kompleks ini secara efektif. Membahas tantangan bunuh diri dan kesehatan mental secara terbuka adalah langkah awal yang penting. Kampanye kesadaran masyarakat dan program pendidikan tidak hanya memberdayakan individu untuk mengidentifikasi tanda-tanda peringatan namun juga membantu menghilangkan stigma dalam mencari bantuan. Sayangnya, sumber daya kesehatan mental seringkali langka dan mahal. Pemerintah dan sistem layanan kesehatan perlu berinvestasi dalam memperluas akses terhadap layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas, termasuk terapi, pengobatan, dan kelompok dukungan. Menciptakan jaringan dukungan sosial yang kuat sangatlah penting. Pusat komunitas, organisasi keagamaan, dan sekolah dapat memainkan peran penting dalam menumbuhkan rasa memiliki dan koneksi. Program yang mendorong inklusi sosial dan pengembangan generasi muda yang positif dapat membekali individu dengan mekanisme penanggulangan dan membangun ketahanan. Menyediakan saluran telepon krisis 24/7 dan sumber daya online dapat memberikan dukungan langsung dan bantuan bagi mereka yang berada dalam krisis. Hotline menawarkan konselor terlatih yang dapat mendengarkan secara aktif, dukungan emosional, dan sumber bantuan. Sumber daya online dapat menawarkan dukungan obrolan anonim dan informasi mengenai mekanisme penanggulangan dan profesional kesehatan mental.
Media mempunyai peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat. Pelaporan bunuh diri yang bersifat sensasional dapat menimbulkan dampak negatif, dan berpotensi menginspirasi upaya peniruan. Mengikuti pedoman WHO untuk pemberitaan media yang bertanggung jawab mengenai bunuh diri dapat membantu mencegah tragedi lebih lanjut. Bunuh diri telah menjadi salah satu kondisi prioritas dalam Program Aksi Kesenjangan Kesehatan Mental (mhGAP) WHO yang diluncurkan pada tahun 2008, yang memberikan panduan teknis berbasis bukti untuk meningkatkan penyediaan layanan dan perawatan di negara-negara yang menangani gangguan mental, neurologis, dan penggunaan narkoba. Dalam Rencana Aksi Kesehatan Mental WHO 2013--2030, negara-negara anggota WHO telah berkomitmen untuk berupaya mencapai target global untuk mengurangi angka bunuh diri di negara-negara sebesar sepertiga pada tahun 2030. Selain itu, angka kematian akibat bunuh diri merupakan indikator dari target 3.4 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk mengurangi sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular melalui pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan pada tahun 2030. Dengan bekerja sama, kita dapat membangun dunia yang menjadikan pencegahan bunuh diri sebagai prioritas global. Melalui peningkatan kesadaran, peningkatan akses terhadap sumber daya, dan sistem dukungan masyarakat yang kuat, kita dapat menerangi masa depan yang lebih cerah dengan harapan yang selalu ada dan setiap kehidupan yang dihargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H