Sejarah bagaikan kaleidoskop; putar sedikit saja, dan polanya akan berubah total. Tokoh-tokoh agama berdiri sebagai poros penting yang di sekitarnya masyarakat dan kepercayaan berputar. Salah satu tokoh tersebut adalah patriark Abraham, yang pengaruhnya bergema selama berabad-abad dalam agama-agama Abrahamik yang terdiri dari Yahudi, Kristen, dan Islam. Pada kesempatan kali ini, kita akan berandai-andai sejenak. Bagaimana jika sejarah dunia mengambil langkah yang tajam, meninggalkan Abraham tanpa anak? Artikel ini menyelidiki sejarah spekulatif, dunia dengan agama yang dibentuk kembali, ekonomi bergeser, dan konsep perdamaian itu sendiri ditantang oleh ketidakhadiran Abraham.
Perjanjian yang Hancur dan Mesias yang Hilang
Perjanjian antara Abraham dengan Tuhan - janji keturunan dan tanah air sebagai imbalan atas kesetiaan - membentuk landasan Yudaisme. Tanpa keberadaan Ishak, fondasi ini akan hancur. Gagasan Israel sebagai "umat pilihan", yang sentral bagi identitas Yahudi, akan kehilangan dasar historisnya. Taurat, sebuah kronik keturunan Abraham dan perjuangan mereka, mungkin ada dalam bentuk yang sangat berbeda. Narasi Keluaran, landasan teologi pembebasan Yahudi, akan tiada, dan hukum-hukum Musa dapat digantikan oleh kode etik yang sama sekali berbeda. Bagi Kristen, dampaknya bahkan lebih mendalam. Yesus, sebagaimana dipahami oleh umat Kristen, merupakan penggenapan nubuat mesianik yang berawal dari Raja Daud, dan jika ditarik lebih lama lagi, kepada Abraham. Tanpa garis keturunan ini, konsep mesias pada dasarnya akan tertantang. Jika Kekristenan diasumsikan tetap muncul tanpa keberadaan Mesias, tentu konsep tersebut tidak akan bisa dikenali, bahkan mungkin tanpa fokus pada keilahian Yesus dan perannya sebagai penyelamat.
Warisan Ismail: Islam yang Didefinisikan Ulang
Islam, meski menelusuri garis keturunannya ke Ismael, juga terkait erat dengan kisah Abraham dan para nabi Yahudi. Pengaruh ini terlihat jelas dalam teks-teks Islam, dari Al-Quran hingga Hadis. Tanpa garis keturunan Abraham melalui Ishak, Islam mungkin masih berpusat dan Ka'bah, tapi tentunya tanpa pengaruh sama sekali dari kelahiran Ismael dan konflik yang terbentuk antara keturuanannya dengan umat Yahudi sebagai penerus Abraham dari garis keturuanan Ishak. Ibadah haji mungkin tetap ada dan agama ini akan tetap berpusat pada kehidupan Nabi Muhamad, tetapi konteksnya dan narasi Islam yang lebih luas akan sangat terpengaruh. Al-Quran, yang kaya dengan referensi kepada keturunan Ishak, akan memerlukan penafsiran ulang atau pendefinisian baru pada pesan-pesan teologis intinya.
Jalan Berliku Monoteisme dan Pergeseran Ekonomi
Penolakan Abraham terhadap politeisme merupakan elemen kunci dalam warisannya dalam sejarah. Di dunia tanpa teladannya melalui garis keturunan dari Ishak ataupun Ismale, kebangkitan agama monoteis dapat diperlambat atau bahkan digagalkan. Sistem politeisme kuno, seperti yang ditemukan di Yunani, Roma, dan Mesir, mungkin akan tetap dominan lebih lama, bahkan hingga saat ini. Implikasi bagi masyarakat umum juga akan luas. Tanpa otoritas ilahi tunggal, kode moral dan hierarki politik mungkin berkembang berdasarkan filsafat sekuler atau kepercayaan spiritual alternatif. Akankah kebangkitan pemikir berpengaruh seperti Plato, Socrates, atau Aristoteles semakin cepat dalam ruang hampa dominasi monoteistik ini? Bisa dan akan sangat mungkin terjadi.
Memang menggoda untuk mengaitkan warisan Abraham, terutama melalui budaya perdagangan yang berfokus pada keturunannya, dengan hasil ekonomi tertentu. Namun, sejarah mengungkapkan gambaran yang lebih kompleks. Inovasi seperti pertanian, jaringan perdagangan yang komprehensif, dan mata uang muncul di seluruh peradaban dengan kepercayaan agama yang beragam. Kemakmuran ekonomi, meskipun terkadang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, terutama didorong oleh faktor-faktor seperti geografi, ketersediaan sumber daya, perkembangan teknologi, dan stabilitas politik. Dunia tanpa putra-putra Abraham kemungkinan besar masih akan melihat kebangkitan dan kejatuhan kerajaan, didorong oleh faktor-faktor fundamental ini.
Pergeseran Geopolitik dan Bayang-Bayang Perang Dunia: Dunia yang Lebih Damai?
Pertanyaan pamungkas - apakah tanpa adanya agama-agama Abrahamik akan mengarah pada dunia yang lebih damai? - sayangnya tidak mungkin dijawab. Konflik agama, dari dunia kuno hingga zaman modern, tidak diragukan lagi telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa. Akan tetapi, untuk menghubungkan semua kekerasan dengan agama berarti mengabaikan jalinan rumit motivasi manusia dan esensi agama untuk mengubah motivasi tersebut untuk menghasilkan dampak yang positif. Sengketa wilayah, persaingan ekonomi, dan ketegangan etnis telah mendorong konflik sepanjang sejarah, terlepas dari afiliasi agama manapun. Tanpa konsep perang yang ditetapkan atau orang-orang yang disukai secara ilahi, beberapa bentuk konflik mungkin berkurang. Meskipun demikian, potensi kebrutalan atas nama kekuasaan, perebutan sumber daya, atau dominasi ideologi sayangnya akan tetap ada. Ketidakhadiran agama-agama Abrahamik akan secara dramatis membentuk kembali dinamika kekuatan dan lanskap budaya di Timur Tengah dan Eropa. Kebangkitan kerajaan, pembentukan aliansi, dan pecahnya konflik seringkali didorong oleh perpaduan faktor geografis, kepentingan ekonomi, dan semangat ideologis tersebut.