Malam puncak Puteri Indonesia 2024 baru saja selesai dilaksanakan di Plenary Hall, Jakarta Convention Center. Puteri Indonesia Jawa Barat, Harashta Haifa Zahra berhasil memenangkan gelar utama dan dimahkotai oleh Puteri Indonesia 2023, Farhana Nariswari yang juga berasal dari Jawa Barat. Kemenangan ini sekaligus mengukuhkan Jawa Barat sebagai provinsi kedua yang berhasil meraih gelar utama dalam dua tahun secara berturut-turut setelah DKI Jakarta berhasil melakukannya dalam beberapa kesempatan. Harashta Haifa Zahra yang juga dipanggil Tata mengalahkan Sophie Kirana Indriyagi dari D.I. Yogyakarta yang meraih gelar Puteri Indonesia Lingkungan 2024 (runner-up I), Ketut Permata Juliastrid Sari dari Bali yang menjadi Puteri Indonesia Pariwisata 2024 (runner-up II), dan Melati Tedja dari Jawa Timur sebagai Puteri Indonesia Kebudayaan 2024 (runner-up III). Keempat wanita cantik, pintar, dan berbakat ini akan mewakili Indonesia pada sejumlah ajang internasional yang terdiri dari Miss International, Miss Supranational, Miss Charm, dan Miss Cosmo International.
Sekalipun kompetisi Puteri Indonesia telah mencapai puncak dengan pengumuman pemenang, banyak pengamat kontes kecantikan yang masih berdebat seputar kemenangan Tata sebagai pemegang gelar utama. Pengamat tersebut banyak mengungkapkan pendapat mereka secara langsung pada portal media seperti Indonesian Pageants (Instagram @indopageants) bahwa D.I Yogyakarta seharusnya menjadi pemenang utama karena memiliki jawaban yang lebih baik. Akan tetapi, kontroversi ini sebenarnya menjadi pengingat yang mencolok: Indonesia masih menjadi bangsa yang terpesona dengan jawaban yang penuh retorika dibandingkan dengan penyampaian yang berbasis data dan realitas. Mengapa? Singkatnya, Puteri Indonesia D.I. Yogyakarta menjawab dalam bahasa Inggris dan mengeluarkan sejumlah istilah keren seperti Sustainable Development Goal (SDG) dan gender equality, padahal pengungkapan istilah-istilah keren belum tentu dapat menjadi jawaban yang dapat dimengerti oleh masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, Puteri Indonesia D.I. Yogyakarta seakan lupa bahwa esensi menjadi Puteri Indonesia seharusnya menginspirasi para wanita (khususnya wanita muda) di seluruh Indonesia dengan perbuatan dan kata-kata yang menginspirasi mereka. Siapa pun bisa terdengar pintar dengan kosakata, tetapi hal yang lebih penting mencari ide-ide yang sebenarnya bersembunyi di balik kata-kata mentereng itu. Lebih lanjut, kefasihan dalam bahasa Inggris, sekalipun menjadi syarat yang dibutuhkan sebagai perwakilan Indonesia pada ajang internasional, tapi tidak cukup untuk punya sesuatu yang berarti dikatakan kepada publik.
Melampaui Kontes Kecantikan: Bagaimana Superfisialitas Menjangkiti Kita?
Puteri Indonesia hanyalah sebuah mikrokosmos. Penyakit yang sama sebenarnya menginfeksi terlalu banyak aspek kehidupan Indonesia. Data menunjukkan bahwa siswa Indonesia secara konsisten tertinggal dalam penilaian internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur performa skolastik dalam matematika, sains, dan membaca. Â Peringkat Indonesia pada tahun 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023 berada pada posisi 68 dari 81 negara yang ikut disurvei dengan skor matematika (379), sains (398), dan membaca (371). Skor ini jauh di bawah rata-rata OECD yang memiliki matematika (472), sains (485), dan membaca (476) pada tahun yang sama. Lebih buruk lagi, hasil PISA ini mengisyaratkan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia bukan hanya tentang sumber daya, tetapi juga mentalitas yang lebih menghargai proses menghafal materi daripada pengembangan pemikiran kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan untuk mentransfer pengetahuan ke situasi baru. Kita berisiko melahirkan generasi yang sangat terampil dalam resitasi, tetapi kekurangan kelincahan intelektual untuk inovasi sejati. Teater politik juga menjadi wadah tempat superfisialitas menjadi peran pengganti dari substansi. Masa pemilihan umum 2024 yang baru saja usai sangat sedikit berbicara tentang kebijakan dan lebih banyak mencondongkan personalitas. Tokoh populis dengan slogan menarik dan kampanye mencolok seringkali membayangi mereka yang memiliki rencana yang diteliti dengan baik. Sejumlah pengamat dan peneliti bidang politik mengungkapkan bahwa kebanyakan orang Indonesia percaya platform politik hanyalah sebagai pencitraan belaka, dengan aspek "disukai"nya seorang kandidat mendominasi wacana publik. Pada akhirnya, pemimpin dikatakan unggul jika mampu mengaduk emosi para elektoral, sekalipun kesulitan untuk mengatasi kompleksitas pemerintahan dengan program-program nyata. Dalam dunia bisnis, Indonesia memiliki budaya startup yang dinamis dan semangat kewirausahaan yang berkembang. Tetapi jika melihat lebih dalam, tren yang meresahkan muncul. Sejumlah laporan dan pemeringkatan dunia dalam dunia bisnis hampir semuanya memposisikan Indonesia pada peringkat yang senantiasa membaik dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi tetap menyoroti kekhawatiran yang masih ada seputar inefisiensi birokrasi dan fokus yang seringkali tidak sehat pada pembangunan citra. Alih-alih mendanai penelitian dan pengembangan, perencanaan jangka panjang yang strategis, dan praktik beretika, terlalu banyak perusahaan yang memprioritaskan jalan pintas -- aksi publisitas yang menarik perhatian atau pengejaran putus asa terhadap ketenaran pemasaran viral. Perusahaan-perusahaan ini mungkin dapat menjadi berita utama tetapi pada akhirnya gagal menciptakan nilai ekonomi sejati yang bersifat jangka panjang.
Harga Retorika Kosong: Potensi Kita yang Tak Terwujud
Obsesi Indonesia dengan penampilan bukanlah hal yang tidak berbahaya. Kondisi ini secara aktif mengikis potensi kita, meninggalkan kita sebagai bangsa yang penuh janji tak terpenuhi. Masa depan Indonesia sebagai kekuatan global yang dikenal dengan modal intelektual dan kemampuan memecahkan masalah memang masih dalam jangkauan, tetapi tantangan-tantangan retorika bisa saja mengungkapkan kemampuan Indonesia hanya sebagai penyelenggara pertunjukan yang bagus. Lanskap politik dengan perdebatan yang berfokus pada kebijakan berbasis bukti sampai saat ini masih belum terwujud, dan politisi belum banyak dinilai berdasarkan rekam jejak mereka dalam memecahkan masalah, melainkan hanya penyampaian pidato yang berapi-api. Selain itu, bisnis yang dibangun di atas ide visioner, perilaku etis, dan inovasi berkelanjutan akan terancam jika retorika kosong dan tren sesaat atau masih banyak dilakukan. Perekonomian nasional yang didorong oleh substansi, bukan hanya sensasi masih menjadi mimpi.
Jalan Menuju Transformasi: Substansi Bukanlah Opsional
Kita bisa mencapai Indonesia ini yang berkualitas dengan mengedepankan substansi dan kerja nyata, bukan sekedar cerita belaka, tetapi hal ini membutuhkan revolusi fundamental dalam pola pikir kita. Â Pendidikan formal untuk abad ke-21 di Indonesia harus menjadi inkubator pemikiran kritis. Nilai ujian dan pembelajaran hafalan perlu digantikan dengan budaya yang mendorong rasa ingin tahu, penalaran logis, dan kemampuan beradaptasi secara intelektual. Sistem pendidikan perlu melatih siswa untuk menjadi ahli, bukan sekadar perantara informasi. Kita harus menuntut lebih dari para politisi kita. Pidato karismatik dan slogan muluk bukanlah pengganti rencana konkret dan pemahaman nyata tentang masalah yang dihadapi bangsa. Kita pantas mendapatkan pemimpin yang dihormati karena kompetensi, bukan hanya pesona. Masyarakat Indonesia perlu menumbuhkan generasi baru pemimpin bisnis - mereka yang berfokus pada penciptaan nilai jangka panjang, pengambilan keputusan etis, dan komitmen untuk membuat perbedaan yang nyata, bukan hanya untuk mendapatkan putaran pendanaan berikutnya atau menjadi trending di media sosial. Perubahan sejati juga perlu dimulai dari diri kita sendiri. Kita mesti melatih diri untuk melihat melampaui kemasan dan untuk selalu bertanya, "Apakah kata-kata ini masuk akal? Apakah ini dibangun di atas fakta atau hanya frasa yang terdengar menyenangkan? Apakah orang, politisi, atau bisnis ini benar-benar memiliki rekam jejak pencapaian?" Kontroversi kecil seputar pemenang Puteri Indonesia 2024 menghadirkan kesempatan untuk berkaca pada diri sendiri. Kita bisa memilih menjadi bangsa yang lebih menghargai penyampaian yang fasih daripada konten yang bermakna, atau kita bisa menjadi masyarakat yang mengangkat mereka dengan ide-ide nyata, mereka yang mau melakukan kerja keras, mereka yang terdorong untuk membangun sesuatu di luar hal yang superfisial. Masa depan Indonesia bergantung pada pilihan ini. Untuk saat ini, selamat untuk Harashta Haifa Zahra atas kemenangan sebagai Puteri Indonesia 2024!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H