Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Roti dan Sirkus: Elektoral Indonesia yang Teralihkan

2 Maret 2024   10:24 Diperbarui: 2 Maret 2024   10:42 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah Figur Publik yang Menjadi Caleg pada Pemilu 2024 (KOMPAS.com)

Satiris Romawi, Juvenal, pernah meratapi kemerosotan masyarakat di sekitarnya, di mana masyarakat yang pernah bermartabat menjadi puas dengan "panem et circenses" – roti dan sirkus, yang merupakan suatu frasa metonimia yang menyiratkan pemuasan dangkal. Dalam konteks politik, frasa ini berarti upaya  menciptakan dukungan publik, bukan dengan keunggulan dalam pelayanan atau kebijakan publik, melainkan melalui pengalihan, gangguan, atau pemuasan kebutuhan paling dasar dan mendesak dari masyarakat dengan memberikan obat penenang sementara: misalnya makanan (roti) atau hiburan (sirkus). Di Indonesia modern, gema frasa ini terasa tidak nyaman namun nyata. Ketika negara ini bergulat dengan tantangan kompleks, proses elektoralnya terkadang menyerupai kontes popularitas semata, di mana kandidat selebriti dan tontonan dangkal kerap menenggelamkan diskursus serius, serta pengawasan terhadap mereka yang ingin memimpin.

Tontonan Politik selebritis

Di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), tempat debat legislatif dan nasib bangsa seharusnya menjadi yang terpenting, tren aneh telah terjadi - selebritis ada di mana-mana. Penyanyi, aktor, dan figur hiburan semakin memenuhi kursi yang ditujukan bagi negarawan dan pakar kebijakan. Fenomena ini merupakan gejala nyata dari sistem politik yang rusak, di mana ketenaran, uang, dan popularitas yang artifisial seringkali mengalahkan pengalaman, kompetensi, dan komitmen tulus untuk pengabdian kepada masyarakat. Angka-angka mengungkapkan kisah yang mengganggu. Dalam pemilihan umum tahun 2024, terdapat 82 kandidat yang diterjunkan oleh partai-partai politik besar yang merupakan selebritis dengan latar belakang di industri hiburan. Jumlah tersebut meningkat cukup signifikan dibandingkan tahun 2019 dengan 54 publik figur dari industri hiburan. Dari jumlah tersebut, banyak dari mereka sukses mengamankan kursi yang diidamkan di badan legislatif. Hal ini bukan tren singkat; kehadiran selebritis di parlemen Indonesia bisa terus meningkat selama siklus pemilihan di masa mendatang.

Kualifikasi? Kualifikasi Apa?

Masalah utama dengan anggota parlemen selebritis adalah ketidaksesuaian mencolok antara daya pikat ketenaran mereka dengan tuntutan pekerjaan. Meskipun kemampuan membuat lagu yang menawan atau membawakan pertunjukan yang dramatis mungkin memenangkan hati penonton, keterampilan ini jarang diterjemahkan menjadi kemampuan untuk meneliti undang-undang yang kompleks, menavigasi seluk-beluk kebijakan, atau mengadvokasi secara efektif beragam kebutuhan dari konstituen yang diwakili. Banyak politisi selebritis melompat langsung dari sorotan kamera wartawan gosip ke arena parlementer, tanpa pengalaman sebelumnya dalam pelayanan publik, aktivisme komunitas, atau pembuatan kebijakan. Minimnya pengalaman ini sangat kontras dengan politisi kawakan, pemimpin masyarakat sipil, dan ahli hukum yang memiliki pengetahuan dan keterampilan penting bagi pemerintahan yang efektif, tetapi seringkali dikesampingkan demi mereka yang memiliki popularitas lebih tinggi.

Uang, Citra, dan Erosi Representasi

Bagi partai politik, daya tarik calon selebritis sangat jelas. Di negara yang bergumul dengan apatisme pemilih, terutama di kalangan generasi muda, nama terkenal di kertas suara menjamin basis suara pada tingkat tertentu. Selain itu, selebritis seringkali memiliki sumber daya keuangan yang signifikan sehingga mampu mendanai kampanye mewah dan menarik perhatian yang telah menjadi identik dengan pemilu di Indonesia. Dinamika ini menggarisbawahi peran korosif uang dalam politik. Kantong tebal telah menjadi prasyarat untuk kesuksesan elektoral, meredam suara kandidat yang kurang kaya namun berpotensi lebih berkualitas. Ketika pemilihan menjadi kontes kekuatan finansial alih-alih pertarungan gagasan, proses demokrasi secara fundamental dirusak. Meninggikan selebritis juga merusak konsep keterwakilan (representasi) itu sendiri. Wakil rakyat tidak dimaksudkan untuk dikagumi dari jauh; mereka diharapkan terhubung erat dengan masyarakatnya. Gaya hidup artis dan penghibur, yang seringkali terisolasi oleh kekayaan dan hak istimewa, menciptakan jurang pemisah antara mereka dengan realitas sehari-hari kebanyakan orang Indonesia. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan yang meresahkan: dapatkah mereka yang menghabiskan hidup di atas panggung dan di bawah lampu studio benar-benar memahami pergumulan petani, pekerja, dan pemilik usaha kecil yang mereka pilih untuk diwakili?

Distraksi Massa – Suatu Bangsa yang Melayang

Aspek paling meresahkan dari fenomena politisi selebriti adalah bagaimana hal itu mengungkap penyakit yang mengakar dalam segmen pemilih Indonesia. Teralihkan oleh kilau dangkal para calon legislatif selebritis, banyak pemilih yang kehilangan penglihatan dari tujuan utama pemilu – memilih pemimpin yang berpengetahuan, berkompeten, dan berdedikasi. Sebaliknya, kepribadian, citra yang dibangun, dan sensasi pengenalan yang sekilas sering kali menang atas analisis kritis terhadap posisi kebijakan, rekam jejak, atau pemahaman ideologis seorang kandidat. Penekanan yang salah tempat pada selebriti ini memiliki beberapa konsekuensi berbahaya. Pertama, hal itu melanggengkan siklus politik yang digerakkan oleh kepribadian, yang juga menjangkiti demokrasi di seluruh dunia. Ketika pemilu menjadi kontes popularitas, bukan pertarungan ideologis ataupun kompetensi, wacana politik pasti akan terdegradasi. Tokoh-tokoh populis, yang memahami kerentanan publik terhadap slogan dan tontonan, mendapatkan keuntungan. Berdagang dengan janji-janji sederhana, menarik emosi daripada akal, dan mengobarkan perpecahan menjadi strategi yang unggul, sementara debat kebijakan publik yang bernuansa dikesampingkan. Kedua, fokus pada selebritis menormalkan devaluasi pengalaman dan keahlian politik. Ketika pemilih memprioritaskan nilai hiburan di atas kualifikasi, mereka secara tidak sengaja memberi sinyal bahwa mereka tidak terlalu menghargai keterampilan yang penting untuk pemerintahan yang efektif. Hal ini dapat mematahkan semangat politisi berpengalaman, pemimpin komunitas yang penuh pemahaman, dan analis kebijakan yang terampil untuk memasuki arena politik, lantaran sadar bahwa kompetensi mereka tidak akan cukup untuk bersaing dengan gemerlapnya ketenaran. Seiring waktu, hal ini bisa mengakibatkan terkurasnya bakat di lanskap politik Indonesia. Ketiga, obsesi terhadap selebritis mengalihkan perhatian pemilih dalam meminta pertanggungjawaban wakil rakyat mereka. Ketika individu dipilih terutama berdasarkan ketenaran mereka, ada risiko publik menjadi kurang waspada dalam memantau kinerja mereka saat menjabat. Kilau ketenaran bisa memudar, tetapi kerusakan yang disebabkan oleh legislator yang tidak kompeten atau berprinsip dapat memiliki konsekuensi yang langgeng bagi kehidupan jutaan orang Indonesia. Kebangkitan politisi selebritis, yang didorong oleh pemilih yang acapkali mengabaikan pengawasan kritis, merupakan gejala dari masalah yang lebih dalam dengan partisipasi demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang sehat bergantung pada warga negara yang berpengetahuan dan terlibat. Sangat memprihatinkan ketika kampanye politik menyerupai ajang pencari bakat (casting calls) dan pemilu menjadi sekadar latihan memilih wajah yang paling dikenal, daripada pemimpin yang paling kompeten dan berdedikasi.

Sudah Saatnya untuk Seruan Perubahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun