Mohon tunggu...
Andi Riyanto
Andi Riyanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kisah Pilu Galon

22 April 2015   19:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:47 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah perjalanan hidup tidaklah terlepas dari lika-liku permasalahan, sehingga menjadikan catatan kecil sejarah kedepannya. Begitupun denganku yang memiliki banyak catatan untuk berbagi kepada sesama.

Aku merupakan korban “salah sebutan” bagi sebagian orang. Sebenarnya manaku bukan yang disebut-sebut saat ini. Aku tidak tahu persis apa yang mendasari mereka menyebut namaku dengan ukuran volume. Jika karena alasan aku merupakan sebuah wadah, itu juga tidak mungkin. Karena wadahku lebih dari ukuran namaku.

Namaku Galon, yang sebenerna merupakan satuan volume dengan takaran satu galon yang setara dengan 3,7854118 liter. Ini sangat menyakitkan, bahwa aku sendiri merasa bersalah jika disebut Galon, karena sangat tidak singkron dengan aslinya galon sebagai ukuran volume. Manusia memanglah sangat tidak memerhatikan hal-hal sekecil ini, sehigga aku salah satu dari ketidak mau tahuan manusia akan sekitarnya.

Terbukti saat terjadi dalam sebuah obrolan ringan antar manusia di sebuah tempat pelatihan, sebuah pertanyaan kecil mengenai siapa penemu diriku? manusia-manusia itu pada kebingungan. Padahal kurang apa diriku, sudah membantunya dalam meringankan beban hidup mereka di dunia, sampai keikhlasanku untuk menerima salah nama yang dipaksakan oleh manusia tanpa persetujuanku. Malah dibalas dengan kesombongan mereka yang tidak ingin mengenal nama penemuku.

Penemuku Jerry Can dari Jerman mungkin tidak akan marah, tetapi aku yang tidak bisa menerimaa. Mungkin jika tidak ada dia, tidak akan ada Jerigen dan kemudian hari termodifikasi menjadi aku. Manusia pasti akan masih sengsara membawa air dengan gentong bahkan memasak air dengan Jimbeng.

Yang mereka tahu aku adalah temuan yang efisien oleh produk air minum dalam kemasan gagasan Tirto Utomo seorang yang keluaran Pertamina. Yah.. produk besar di Nusantara, yang menjadikan aku juga sebagai simbol untuk strata sosial. Yakni dengan harga dan label yang tertera dalam badanku, 19 ribu untuk kalangan atas, 10 ribu untuk menengah dan 3 ribu untuk kalangan mahasiswa yang ingin ngirit dengan hanya isi ulang.

Mereka seakan membuatku semakin bingung, sejak kapan mereka membuat simbol strata sosial jika awalnya mereka juga mencacai maki orang yang “menjuan” air putih. Pandangan yang berdasarkan pada anggapan bahwa negara ini berlimpah air, sehingga memangdang “bodoh” orang yang membuat inovasi seperti ini. Pada akhirnya termasuk penemuan yang merubah peradaban manusia modern di Indonesia. Dan manusia di negara yang di proklamasikan oleh Sukarno ini juga tidak bisa menjaga aset bangsa, dengan terlepasnya produk yang membawaku ke Indonesia jatuh ketangan orang asing.

Kesombongan yang ditampakkan oleh manusia inilah yang membuat merekalah yang “bodoh” seharusnya sadar akan “kebodohannya”. Bukan semakin sombong dengan tidak mau berfikir dan berterimakasih dengan melupakan siapa aku, siapa pembuatku dan siapa yang menyebarkanku di Nusantara. Mereka hanya tahu tinggal angkat aku untuk sumber minum mereka, tempat hiasan di ruang tahu bahkan sekarang fungsiku juga berubah menjadi alat musik.

Inilah jeritanku untuk manusia, inilah kisahku yang selama ini bercumbu dengan manusia, semoga manusia sadar akan diriku yang selama ini terlupakan atau bahkan sengaja dilupakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun