Kaum homoseksual kian gencar melakukan kampanye dan propagandanya untuk melegalkan eksistensinya. Mereka selalu berkoar-koar dengan mengatasnamakan HAM agar masyarakat dan negara tidak melakukan dikriminasi terhadap hak-hak mereka.
Betapa berbahaya jika HAM selalu dijadikan sebagai tameng pembelaan atas setiap penyimpangan. Jika perilaku homoseksual dibenarkan karena alasan HAM, maka perilaku menyimpang lain seperti pengguna narkoba, pedofilia (doyan bocah), naturalis (suka telanjang), eksibisionis (tukang pamer kemaluan), dan penyimpangan lain akan melakukan pembelaan dengan argumentasi yang sama.
Justru pengguna narkoba rasa-rasanya lebih berhak dan pantas berargumen dengan HAM. Mereka membeli narkoba dengan uangnya sendiri, mengonsumsi dengan tangannya sendiri, tubuh pun miliknya sendiri, badan hancur pun badannya sendiri. Rusaknya tubuh seorang pengguna narkoba tidak berefek dengan orang lain. Namun nyatanya, negara berperan untuk menjaga generasinya dari bahaya narkoba dengan tetap menangkapi pengguna narkoba, bahkan mereka pun sering kali masih memperoleh sanksi sosial dari masyarakat. Mengapa hal itu tidak bisa dilakukan pada pelaku homoseksual?
Kalau dianggap dapat menghancurkan masa depan bangsa, maka perilaku homoseksual pun dapat mengancam peradaban dan keadaban bangsa.
Jika penggunaan narkoba dinilai dapat menyakiti tubuh, bukankah homoseksual juga rentan akan penyakit? Bukankah pelaku homoseksual juga memiliki hasrat untuk mengekspresikan dan menyalurkan hasrat seksualnya? Jika perzinaan antara laki-laki dan perempuan memiliki risiko terserang penyakit, berarti perzinaan antara laki-laki dengan laki-laki memiliki risiko yang sama.
Pelaku homoseksual menganggap bahwa homoseksual bukanlah suatu penyakit jiwa. Tentu mereka tidak akan merasa jiwanya sakit, karena bagaimana mungkin jiwa yang sudah mati dapat merasakan sakit?
Pada perilaku homoseksual, berlindung dengan argumen HAM tidaklah dapat diterima secara nalar. Memang diketahui bahwasanya ada segelintir individu yang secara genetik mengalami kelainan, sehingga menyebabkan orientasi seksualnya menjadi penyuka sesama jenis. Namun patut dipertanyakan juga, apakah kelainan genetik ini begitu dominan mempengaruhi perilaku seksual? Permasalahan genetika ini pun masih diperdebatkan para ilmuwan.
Ketika seseorang memiliki orientasi homoseksual, maka itu adalah HAM. Terserah dia, suka-suka dia, karena itu kaitannya dengan keyakinan dan keinginan pribadinya. Namun ketika ia berinteraksi, menunjukkan perilaku homoseksualnya kepada publik atau melakukan tindakan persuasif pada orang lain, maka dia tidak bisa beralasan dengan HAM. Hal ini sebagaimana saat seseorang menganggap dirinya Tuhan, maka itu hak pribadinya.
Jika ia kemudian memengaruhi, berdakwah, lalu mengajak orang lain untuk mengakui dirinya sebagai Tuhan, maka tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Saat ia dalam kesendirian; meyakini, berbuat dan merasakannya sendiri, maka hak asasinya bernilai mutlak. Namun ketika terjadi interaksi, hubungan sosial, atau berada di ruang publik, maka menjadikan hak asasinya terbatas, karena dibatasi oleh keberadaan hak asasi orang lain.
Pelaku homoseksual ketika ingin melakukan aktivitas seksualnya, maka mereka pun membutuhkan interaksi dengan orang lain, entah itu kekasih lelakinya atau lelaki yang sengaja disewa untuk menyalurkan hasratnya. Bagaimana bisa dikatakan HAM jika dalam aktivitas seksualnya, ternyata ia masih membutuhkan orang lain. Kecuali jika hasratnya dilakukannya sendiri, di ruangannya sendiri, dirasakannya sendiri, itu haknya.
Kalau beralasan hubungan itu dilakukan atas suka sama suka, maka pelaku homoseksual tidak berhak marah jika lelaki yang menjadi kekasihnya berselingkuh dengan laki-laki lain, sebab hubungan perselingkuhan tersebut dilakukan atas suka sama suka. Meski begitu, toh, pasti ada saja kecemburuan dan kemarahan pada pelaku homoseksual yang diselingkuhi.