Berbagai macam masalah mendera bangsa ini. Dari kasus meledaknya tabung gas elpiji ukuran 3 kg yang sudah memakan korban jiwa, kemacetan lalu lintas di ibukota negara Jakarta, sampai urusan politik seperti wacana mengurangi jumlah partai agar sistem presidensial bisa berjalan lebih efektif.
Dalam tajuk rencana harian kompas hari ini (30 Juli 2010), dituliskan bahwa pengamat dalam dan luar negeri percaya bahwa sebetulnya Indonesia bisa melesat lebih maju hari ini jika didukung infrastruktur yang baik. Mereka bilang peluang itu sangatlah besar. Dan saya termasuk yang menyetujui pendapat ini.
Tapi realitas di lapangan sangatlah berbeda. Berbagai kasus yang melanda Indonesia membuat program-program Pemerintah harus dievaluasi dan membutuhkan waktu dan biaya untuk memperbaiki permasalahan yang ada.
Meledaknya Tabung Gas
Seperti program konversi minyak tanah ke gas, sesungguhnya dapat membantu kondisi keuangan negara dengan mengurangi subsidi pemerintah atas minyak tanah untuk masyarakat. Program sosialisasi dan pemberian tabung gas dan selang regulator berjalan sangat masif. Program tersebut dianggap sukses, meskipun dengan beberapa catatan. Namun di belakang hari, tabung gas tersebut ternyata tidak aman. Sudah puluhan tabung gas meledak dan memakan korban jiwa.
Akhirnya para pemangku kebijakan harus berhenti sejenak untuk mengevaluasi. Namun saya lihat bukan cara evaluasi yang baik karena tiap pemangku kebijakan itu saling lempar tanggunjawab. Ada yang bilang tabungnya palsu dan tidak standar nasional (baca: SNI), begitu pula dengan selang regulator yang bocor, sampai sosialisasi yang dilakukan tidak benar sampai ke masyarakat.
Mohon maaf, saya belum punya usul bagus untuk masalah ini. tapi sebaiknya para pemangku kebijakan melakukan kontrol sangat ketat terhadap kualitas tabung, selang dan regulator, dan juga cara pengisian tabung, di samping terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Kemacetan Jakarta
Juga masalah kemacetan di Jakarta, sebagai ibukota suatu negara kepulauan terbesar di dunia. Masyarakat sudah terlanjur percaya kepada "Sang Ahli" untuk membereskan masalah ini. Namun kenyataannya Sang Ahli tidak dapat berbuat banyak. Entah karena Sang Ahli kurang tegas atau memang permasalahan di DKI Jakarta memang sudah saking ruwetnya sehingga Sang Ahli bingung menentukan skala prioritas untuk menyelesaikannya.
IMHO, masalah kemacetan di Jakarta dimulai dari pembenahan tata kota Jakarta dan dilaksanakan dengan disiplin. Tidak semata-mata mengejar pendapat asli daerah, namun demi produktifitas daerah tersebut. Tata kota dapat memberikan gambaran pertumbuhan kota termasuk hal transportasi, ruang terbuka hijau, gedung-gedung, dan sarana perkotaan lainnya.
Yang kedua, perlunya kebijakan transportasi yang saling mendukung dari para pemangku kebijakan. Hal ini harus dilaksanakan secara tegas dan disiplin. Dibutuhkan leadership yang tinggi untuk menjalankannya. Dari beberapa catatan kepemimpinan Sutiyoso pada periode sebelumnya, kebijakan mengenai busway sesungguhnya sangat bagus, namun sayang sekali tataran operasional tidak maksimal.