Wulan melihat langsung korban kecelakaan kereta di hari itu. Organ tubuhnya kelur semua, ususnya berceceran, dan darah segar membasuh rel yang panas tersiram matahari. Wulan sudah biasa melihat pemandangan itu.
Kecelakaan ditabrak kereta adalah hal yang sering terjadi di kampungnya yang dilintasi jalur kereta. Apalagi jalanan yang dilalui jalur kereta tidak diberi palang peringatan. Korbannya adalah wanita, dan segera dibawa oleh kepolisian setempat.
Wulan meletakkan belanjaanya, berbasa-basi sebentar dengan suaminya yang tengah memandikan burung. "Tapi aku kaya kenal sama wanita itu, Mas," ujar Wulan setelah ia menceritakan kejadian di rel kereta hari ini.
"Kamu yakin? Orang kampung sini kali," suaminya masih fokus dengan memandikan burung yang melompat-lompat di kandangnya.
"Aku ya ga tahu pasti, tapi kalo orang sini pun pasti aku kenal atau setidaknya tahu. Aku cuma pernah papasan gitu lho, Mas sama dia. Ga tahu kapan dan dimana," entah kenapa Wulan jadi semakin memikirkan korban tabrak kereta hari ini.
"Ya mungkin orang baru pindah ke sini," suaminya itu tidak mengindahkan wajah risau istrinya. Warna bulu dan kicau burung jauh lebih menarik perhatiannya.
Malam itu Wulan tidak bisa tidur. Entah kenapa bayangan kecelakaan itu terus menghinggapi di pikirannya. Wulan merasa tenggorokannya kering dan berniat untuk mengambil air minum. Wulan berjalan ke dapur.
Setelah meredakan hausnya, Wulan hendak kembali mencoba tidur karena besok ia harus bangun pagi buat ke pasar. Namun langkah Wulan terhenti karena saat ia mendongak ke arah sudut dapur dekat jendela, dia yang tadi kecelakaan ada di sana, memanjat sudut dapur dan menatap wulan dengan senyuman lebar. Darah menetes, ususnya menjuntai dan isi perutnya yang lain hampir jatuh.