Bayangkan diri Anda melayang-layang di luar angkasa, menatap ke bawah ke sebuah planet marmer biru. Apa yang ada di atas Anda mungkin membuat Anda berpikir itu adalah kutub utara, tetapi pada kenyataannya, keyakinan kolektif kita bahwa kutub utara berada di bagian atas dunia tidak memiliki dukungan ilmiah yang kuat. Pemikiran ini, meskipun telah mengakar kuat dalam budaya kita, memiliki sejarah yang menarik yang melibatkan astrofisika, ilmu psikologi, dan kebiasaan yang mengejutkan.
Sejak zaman kuno, manusia telah menciptakan peta mental dari lingkungan sekitar mereka. Beesarnya kemampuan kita untuk menciptakan dan berbagi peta ini menjadi elemen kunci dalam perjalanan evolusi kita. Dari gua prasejarah hingga layar komputer modern, kita telah menggambar peta di mana-mana. Meskipun demikian, penempatan utara di atas peta tidak selalu menjadi konsensus.
Peta-peta kuno, seperti peta Asia kuno, sebenarnya diatur untuk menunjuk ke arah selatan, dianggap sebagai arah yang lebih menguntungkan daripada utara yang dingin dan gelap. Namun, dalam peta kuno Asia, kaisar sering ditempatkan di bagian atas, dengan rakyatnya menatap ke arahnya, mengabaikan arah kompas. Ini menunjukkan bahwa setiap budaya memiliki gagasan sendiri tentang apa yang dihormati, mengarah pada orientasi peta yang berbeda.
Jadi, kapan dan mengapa orang memutuskan bahwa utara harus konsisten berada di bagian atas peta? Ada bukti bahwa para penjelajah seperti Columbus dan Magellan, yang menggunakan bintang utara sebagai panduan navigasi, tidak melihat dunia dengan orientasi utara di atas. Faktanya, Columbus melihat dunia dengan timur di bagian atas.
Perubahan ini dimulai dalam beberapa abad terakhir, terutama dengan peta Mercator tahun 1569 yang memproyeksikan kutub hingga tak terbatas, menganggapnya relatif tidak penting. Namun, penempatan utara di atas terus bertahan, bahkan ketika foto Bumi dari luar angkasa dibalik pada tahun 1972 untuk menghindari kebingungan.
Melihat Bumi dari luar angkasa mengubah konsep atas dan bawah. Sejajar dengan planet-planet lain di tata surya, konsep atas dan bawah di luar angkasa tidak lagi berlaku. Bumi, sejajar dengan bidang lainnya, memberikan perspektif baru.
Namun, bagaimana dengan perubahan kebiasaan? Apakah kita perlu membuka diri untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda? Beberapa studi psikologis menunjukkan bahwa persepsi kita tentang nilai dapat dipengaruhi oleh orientasi peta. Ketika peta kota fiktif diperlihatkan pada orang, mereka cenderung memilih untuk tinggal di bagian utara. Orang juga cenderung menempatkan orang kaya di utara dan orang kurang beruntung di selatan.
Pemikiran ini mungkin memunculkan pertanyaan: Apakah kita perlu membalik peta? Eksperimen menunjukkan bahwa membalik peta bisa menghilangkan bias ini. Meskipun mungkin terdengar sederhana, mengubah orientasi peta dapat mempengaruhi persepsi dan penilaian.
Terlepas dari sudut pandang, kompas tetap menjadi alat penting. Kompas telah ada selama berabad-abad, membantu para petualang dan penjelajah melewati samudra yang belum terpetakan dan menemukan benua baru. Ini mengubah manusia menjadi pengelana yang menjelajahi dunia.
Namun, kompas tidak selalu menunjuk langsung ke utara sejati. Inti Bumi yang berputar menciptakan medan magnet dan kutub magnetik, yang sedikit melenceng dari kutub geografis. Fenomena ini dikenal sebagai deklinasi, dan perubahan dalam medan magnet bumi menyebabkan pergeseran pada kompas.