Di panggung dunia, tari ironi berlenggak-lenggok, Dalam irama hidup, menyelinap tak terduga. Satir menari di balik tabir kepalsuan, Dalam guratan puisi, merahasiakan kenyataan.
Oh, dunia yang terbungkus dengan senyum palsu, Seperti boneka bergaya dalam lapisan kebohongan. Cerita hidup seperti skenario sinis, Dipeluk asmara dusta, dicium oleh ketidakjujuran.
Di pelataran cinta, ironi tertawa terbahak-bahak, Hati saling berpura, namun rindu padamu palsu. Cinta tumbuh subur di ladang ketidakpastian, Pertukaran janji-janji palsu, dalam teater kesalahpahaman.
Politik, oh, panggung besar ironi dunia, Para pemimpin berkicau, sementara janji-janji lenyap. Puisi retoris mengalir dari lisan licik, Seakan menari-nari dalam irama kebohongan.
Pendidikan, sang guru ironi tersembunyi, Ilmu dihormati, tetapi kualitas terpinggirkan. Dalam ruang kelas, siswa terhipnotis, Oleh lembutnya kata-kata tanpa makna yang terdengar.
Di media sosial, ironi menderu dengan gemuruh, Hidup diungkap melalui filter kebohongan. Setiap "like" mengecoh, setiap "share" menipu, Dunia maya, panggung utama ironi modern.
Tetaplah tersenyum, dunia penuh ironi, Di setiap langkah, pertunjukkan tak berkesudahan. Dalam puisi ini, satir menari riang, Sebuah refleksi dunia, yang seringkali tak sungguh-sungguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H