Tidak, Mohan tidak bisa diam--- tidak bisa diam melihat ketidakadilan, tidak bisa diam melihat penindasan. Mohan bangkit, keluar dari kamar kostnya, ini sesuatu yang mungkin akan membahayakan dirinya, mungkin bisa saja dirinya dikeluarkan dari kampus ini. Mohan membuat tulisan besar-besar pada kertas yang lalu ia bentangkan dan ia berteriak di depan kampus. Menolak semua ketidakadilan ini, ia bacakan puisi-puisi yang membangkitkan semangat, ia teriakan kata-kata tajam yang langsung menyerang kampus yang tidak pro mahasiswa. Dia terus berteriak sampai suaranya serak namun tidak ada yang memperdulikannya, tidak ada yang berteriak bersamanya, saat itu Mohan sadar--- semua mahasiswa, bahkan mungkin dosen dan semua orang yang ada di kampus ini... tunduk akan ketidakadilan yang membelenggu kampus mereka. Dosen dan staf yang lain tunduk pada gaji yang menghidupi mereka, sementara itu para mahasiswa tunduk pada ijazah yang akan mereka dapatkan asal tidak berbuat macam-macam. Satu-satunya yang datang padanya adalah satpam dengan tubuh kekar, pakaian serba hitam--- Mohan tidak mengenali satpam itu, satpam kampusnya kan kalau tidak kurus kering ya gendut.
      Mohan diringkus sore itu, dia dibawa ke pojok kampus yang sepi. Satpam itu memanggil temannya, dan langsung memukul perut Mohan hingga Mohan perlahan kehilangan kesadarannya. Ini bukan lagi mules, tapi perut terasa digiling. Begitu sadar, Mohan sudah diikat di kursi dengan tali di gudang. Dia mencoba meronta, tidak ada perubahan, tali itu membelenggunya begitu kuat. Datang dua satpam yang memukulnya tadi. Perutnya masih terasa melilit, seakan sembelit. Wajah Mohan tiba-tiba saja dipukul, tepat di matanya, lalu bibirnya sampai robek berdarah. "Sudah-sudah." Datang seorang dari kegelapan gudang, orang yang dia kenal. Si Ketua Yayasan.
      Mohan menatap tajam, terbelalak. "Jadi, untuk apa kamu melakukan itu? Sendirian pula." Pria gendut paruh baya itu memperlihatkan video yang berisi dirinya tengah berteriak menuntut keadilan di depan kampus. "Kasihan sekali kamu Nak, kamu hanya berjuang sendirian. Barangkali kau sudah paham itu adalah kesia-siaan."
      "Apa kau berniat mematikan kebebasan berbicara di kampus mu sendiri? Bukan kamu yang bilang kalau kebebasan berbicara adalah hak semua orang? Kau ingin mematikan apa yang pernah kau sampaikan? Atau saat itu kau hanya berbual agar terlihat penuh wibawa?" Mohan menatap tajam, saat ini hatinya tak ada rasa takut--- untuk apa takut pada orang-orang sepertinya, orang-orang munafik!
      Pria paruh baya dengan perut buncit itu tergelak, bahunya naik turun karena tawanya. "Anak ini sungguh pandai berbicara. Kau menurutlah padaku, aku bisa jadikan kau orator yang baik di jalan, kau bisa turun ke jalan dan membawa masa yang aku siapkan. Bagaimana, kau mau Nak? Oh begini, kalau kau mau--- kau bisa menjadi dosen di kampus kita. Bagaimana? Kau bisa membina mahasiswa di sana, agar semakin menurut padaku. Bagaimana? Masalah gaji tidak usah kau khawatirkan, tanyakan saja pada dosen-dosen mu itu--- gaji yang aku beri cukup menghidupi mereka." Mohan merasa jijik, ludah langsung ia lancarkan dan mengenai mata lawan bicaranya.
      "Kau pikir aku sudi?!" Dan langsung saja Mohan dihajar dua satpam dengan badan kekar itu. Mohan dipukul, ditendang, dipukul lagi, dihantam dengan siku, ditendang lagi--- terus menerus hingga darah keluar dari berbagai sisi di tubuhnya. Ada yang pendarahan di dalam dan ada yang mengucur. Mohan kehilangan kesadaran.
      "Jadi, kau masih mau kebebasan berbicara?" Tanya pria paruh baya yang gendut itu dengan wajah yang memuakkan.
      "Matikan aku Babi Hutan! Matikan aku! Matikan aku dan kau akan menyaksikan aku dengan tubuh-tubuh yang lain. Tak perlu menunggu kapan itu datang, tak perlu khawatir tak akan datang, pasti mereka dengan jiwaku di tubuh mereka akan datang di waktu yang tepat. Tunggu saja, Babi Hutan!" Mohan tersenyum sinis, lalu ia meludah dan tepat mengenai mata pria gendut paruh baya. "Ketakutan?" Sekali lagi Mohan tersenyum sinis.
      "Anak setan!" Pria gendut paruh baya menggeram, memukul Mohan dengan sekuat tenaga yang ia punya, Mohan merasakan gundukan batu cincin mengenai hidungnya telak. "Cepat selesaikan!"
      Dalam tiap pukulan, tendangan, makian dan cacian yang Mohan terima, Mohan berdoa pada alam, pada Tuhan--- mengharapkan keadilan masih berdiri tegak di tiap inci di negerinya, Mohan berharap dirinya lahir di banyak tubuh bayi yang sedang dikandung, Mohan berharap tiap mili detik rasa sakit yang menyerang tubuhnya akan dibayar tuntas dengan harapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H