Pagi-pagi benar.... Jauh sebelum mentari menunjukkan jati dirinya Engkau sudah pergi meninggalkan rumahmu Rumah reot bambu, yang kau sewa, di sebuah sudut jalan Tugu Pahlawan Surabaya Engkau bergegas menggenjot sepedamu Kau kayuh kuat sepeda tua itu Engkau pergi ke rumah persewaan becak harian itu Sesampai di rumah sang juragan Segera kau jumpai becak setengah tua.... Besi-besinya masih sedikit dihiasi cat-cat yang mulai memudar Karatnya pun mulai menujukkan giginya Kau gapai becak itu, kaupun mengambil segera pompa angin di sudut rumah itu Dengan sedikit tenaga, kau isi penuh ban becak itu hingga siap untuk dipacu Akhirnya, segera kau menuju Tugu Pahlawan, tempat biasa kau mengadu nasib Mencari ibu-ibu yang menuju Pasar Turi, maupun mencari pelajar-pelajar yang bergegas harus ke sekolah Sementara mobil-mobil juga melaju, kau tak kalah untuk beradu Kau melenggak-lenggokan becak itu dengan ayunan demi ayunan Pagi itu, di Tugu Pahlawan, tempat yang sama para pejuang meneteskan keringatnya untuk merebut kota ini Kau tengah berjuang dengan semangat yang tak pantang menyerah Di Tugu Pahlawan, tempat para pejuang mencucurkan darahnya untuk merebut kota tercinta Kini kau terus berjuang untuk bertahan hidup Sementara kota ini terus berkembang, bergeliat maju, menuju kota metropolitan Engkau dan becakmu, terus hadir, walau makin hari makin tersisih Semua orang sudah punya kendaraan bermotor Semua orang sudah makin mencintai mobil-mobil mewah itu Ketika semua orang meninggalkan masa lalu, dengan segala kekelaman dan kepahitan hidupnya Engkau tetap sama, melajukan becakmu, meraih impian di masa depan Engkau bukannya kalah dengan yang lainnya Engkau juga punya mimpi... Engkau juga punya harapan... Engkau juga punya visi... Engkau rindu anak-anakmu menjadi orang yang berbeda denganmu Engkau rindu generasi penerusmu menjadi pribadi-pribadi yang unggul Engkau rela membayar harga, engkau rela meneteskan keringat... bercucuran... Semuanya demi memberikan dirimu sampai habis... kepada generasi penerusmu Bahwa engkau hidup bukan untuk kalah, engkau hidup bukan untuk menyerah Engkau hidup untuk berpacu, berpacu dengan semua geliat kemajuan zaman Engkau tidak malu... engkau tidak ragu... Selama hayat masih di kandung badan, engkau akan terus berjuang... Menyelesaikan tugas dan panggilan hidupmu... Sekalipun semuanya harus diraih dengan mengayuh pedal becak setengah tuamu itu... Aku terharu... aku bangga denganmu... Hidupmu jauh lebih berharga dari para pemuka agama di negeri ini, yang seringkali hanya pintar berbicara Aku bangga, hidupmu lebih berarti dari para pejabat di negeri ini yang seringkali hanya memeras keringat kita, wong cilik... Aku bangga denganmu, bersamamu... aku bisa menghargai apa itu kehidupan, apa itu kesempatan, apa itu kejujuran... Bersamamu... aku tahu bahwa hidup ini bukan tentang menjadi apa yang kita mau... Tetapi hidup itu jauh lebih berharga yaitu menjadi siapa kita, di hadapan Sang Pencipta dan membagikannya kepada sesama Hidup ini bukan tentang mencapai impian dengan mengorbankan impian orang lain Hidup ini adalah sebuah kayuhan, dari satu langkah demi satu langkah... Menyusuri berbagai rintangan, lika-liku dan hambatan apapun... Engkau dan becak setengah tuamu benar-benar tahu... Bahwa hidup adalah sebuah perjuangan... kadang harus mencucurkan keringat, air mata... dan... kadang nyawa... Engkau dan becak setengah tuamu... adalah wujud dari teladan pejuang-pejuang kehidupan yang tak pernah layu... Salam perjuangan, salam solidaritas wong cilik! Surabaya, 3 Maret 2012 Christopher Andios Picture: google image
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H