Grafik pemerintah mengenai berbagai variabel sosial-ekonomi boleh saja menunjukan pergeseran secara positif. Namun hal tersebut seolah berbanding terbalik dengan kenyataankualitas hidup rakyat yang semakin merosot. Hal ini, salah satunya ditunjukan oleh fenomena derasnya gelombang migrasi rakyat untuk mencari pekerjaan di negeri orang. Sialnya, mimpi indah tidak selalu berujung nyata. Kasus demi kasus kekerasan, pelecehan seksual, dankondisi menyedihkan lainnya terus terjadi tanpa mampu diselesaikan, terlebih diantisipasi oleh pemerintah.
Penganiayaan terhadap Sumiati, kematian Kikim Komalasari, serta terlantarnya ratusan buruh migran Indonesia (BMI) di Arab Saudi hanyalah sejumlah kasus yang mencuat ke permukaan. Pada kenyataannya, dalam setahun pemerintahan SBY-Boediono saja, 908 BMI dilaporkantewas, 3 divonis tetap hukuman mati, ratusan orang menunggu proses hukum dengan ancaman mati, sementara ribuan orang lainnya memenuhi penjara negeri-negeri asing (Migrant Care, 2010). Inilah bukti bahwa pemerintah tidak pernah serius menangani persoalan buruh migran kita. Kebijakan yang diterbitkan selalu kasuistik atau tidak pernah menyentuh akar persoalan.
Walaupun telah teridentifikasi bahwa sebab utama kemunculan jutaan buruh migran ini adalah sempitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri, namun pemerintah tidak pernah menerbitkan kebijakan yang strategis guna menyelesaikan persoalan ini. Padahal, minimnya lapangan pekerjaan sebagai akibat dari rendahnya tingkat kepemilikan warga desa atas tanah pertanianjelas-jelas merupakan pemicu utama perginya mereka dari desa, baik untuk menjadi buruh kontrak di kota atau menjadi buruh migran di luar negeri.
Alih-alih menerbitkan kebijakan yang solutif, pemerintah malah semakin ambisius untuk meningkatkan angka pengeriman BMI ke luar negeri. Atas nama devisa, pemerintah mendorong secara langsung peningkatan jumlah BMI dengan mengucurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk pembiayaan pemberangkatan BMI, yang totalnya mencapai Rp 18 triliun. Tanpa adanya perbaikan mekanisme perlindungan BMI, hal ini berarti pemerintah menjerumuskan semakin banyak rakyat dalam ketidakpastian nasib di negeri orang.
Persoalan Agraria
Monopoli tanah oleh perusahaan-perusahaan besar, baik milik negara maupun swasta, serta alih fungsi lahan pertanian atas nama infrastruktur menyebabkan terusirnya warga desa dari tanah yang seharusnya mereka kelola. Dalam salah satu media massa nasional, Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto menyebutkan, saat ini diperkirakan bahwa 6,2 persen penduduk Indonesia menguasai 56 persen aset nasional, di mana sekitar 62-87 persennya berbentuk tanah. Sebagai contoh, penguasaan tanah, terutama oleh sepuluh perusahaan besar swasta, mencapai 5,3 Ha, yang sebagian besar dialokasikan untuk jenis tanaman non-pangan, seperti sawit dan karet.
Persoalan yang dihadapi warga desa semakin kompleks karena tak jarang penguasaan perusahaan-perusahaan besar atas lahan memicu hadirnya sengketa agraria yang sering menimbulkan jatuhnya korban dari pihak warga. Menurut catatan BPN, hingga tahun 2008 saja, terdapat 2.810 kasus sengketa agraria sekala besar (nasional), 1.065 diantaranya masih ditangani pengadilan, 1.432 kasus masih berstatus sengketa, dan sekitar 322 kasus berpotensi memicu konflik kekerasan. Kasus terbaru adalah penembakan terhadap 6 orang petani dan pemenjaraan 7 lainnya oleh aparat keamanan pada 15 Januari 2011 dalam sengketa agraria antara petani Karang Mendapo Jambi dengan PT. KDA yang merupakan anak perusahaan PT. Sinarmas.
Persoalan ketimpangan kepemilikan sumberdaya agraria juga tercermin dari data Kemenakertras (Juli, 2010) yang menempatkan tiga daerah Jawa Barat sebagai pengirim BMI terbesar, yakni Cirebon (129.717 orang), Indramayu (95.581 orang), dan Subang (95.180 orang). Padahal kita ketahui bahwa tiga daerah yang berada di jalur Pantai Utara (Pantura) tersebut merupakan salah satu lumbung padi nasional. Jika memang sumberdaya agraria bisa dinikmati secara adil, tentunya tidak akan pernah ada alasan bagi warga desa, termasuk para penduduk di wilayah Pantura, untuk lari meninggalkan desa dan berjudi nasib di negeri orang.
Sempitnya akses warga desa, dan rakyat Indonesia secara umum, terhadap pendidikan juga turut menyumbangkan andil terhadap banyaknya para remaja desa yang menjadi buruh migran. Sebagai gambaran, angka partisipasi kasar (APK)masyarakat usia kuliah (19-24) tidak lebih dari 17,25 persen (2007/2008). Para remaja yang memutuskan untuk menjadi pekerja di negeri orang ini didominasi oleh kaum perempuan, yang tak jarang menjadi korban penipuan para agen palsu untuk dijadikan pekerja seks komersial.
Dari sejumlah fakta di atas, seyogianya pemerintah bisa merumuskan rencana strategis untuk menyelesaikan akar persoalan buruh migran, yakni dengan menyediakan dan memajukan lapangan pekerjaan di desa. Syarat mutlak dalam menempuh upaya ini adalah memperbaiki struktur kepemilikan agraria yang sudah diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria, yang salah satu poin pentingnya adalah mengenai reforma agraria. Seperti yang terungkap dalam pidato Menteri Agraria di era pemerintahan Soekarno, Mr. Sadjarwo,“redistribusi tanah sebagai bagian dari pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, salah satunya bertujuan untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan minimum untuk tiap keluarga.”
Kemerdekaan warga desa atas tanah merupakan syarat yang tidak bisa ditangguhkan jika ingin menciptakan lapangan pekerjaan di pedesaan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Jika warga desa sudah memilki tanah, tugas pemerintah selanjutnya adalah mendorong produktivitas mereka. Pemahaman tentang teknologi pertanian harus ditrasformasikan agar hasil dari pengelolaan sumber daya agraria lebih optimal.
Lebih jauh, modernisasi pertanian ini harus didukung oleh sistem pendidikan nasional dengan jalan mengembangkan kurikulum yang menjawab persoalan pertanian. Anak-anak desa harus dikenalkan pada problem dan prospek pengelolaan sumberdaya agraria agar mereka menjadi kaum cendekia yang siap membangun desa. Jika hal ini dilakukan, yakinlah bahwa rakyat Indonesia tidak perlu lari ke negeri orang untuk mencari makan, sehingga tidak aka nada lagi cerita-cerita tragis tentang nasib BMI di negeri orang***
Koordinator Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H