“Konnichiwa”, “Sumimasen..” , “Arigatou” dan berbagai kata sapaan lain dalam bahasa Jepang yang mulai akrab di telinga saya ketika melaksanakan Kerja Praktik di Jepang 2 bulan yang lalu. Antara senang dan grogi karena baru pertama kali saya akan tinggal cukup lama di suatu negara, tanpa sebelumnya menguasai bahasa negara tersebut. Modal saya hanya bahasa Inggris dan beberapa kalimat sapaan berbahasa Jepang yang saya pelajari dari buku traveling. Jadi dengan begitu, interaksi keseharian saya dengan orang-orang Jepang yang bekerja di kantor pun diisi dengan sedikit kata sapaan bahasa Jepang, percakapan bahasa inggris, bahasa isyarat, bahkan kadang dengan gambar kerja.
Komunikasi demikian terus berjalan dan selalu teriringi oleh perasaan ‘tertantang’ karena saya merasa akan bisa lebih mahir berbahasa Inggris dan mempelajari sedikit bahasa Jepang. Mungkin saya bisa saja lupa dengan bahasa sendiri kalau saja saya tidak tinggal dengan beberapa teman seangkatan dari fakultas dan universitas yang sama di Indonesia. Saya dan teman-teman lain akhirnya masih tetap bisa menggunakan bahasa Indonesia sesukanya. Mau ber-aku-kamu bahkan sampai ber-gue-elo dengan imbuhan kata slang yang mungkin berarti kurang sopan pun tak peduli, Siapa menaruh perhatian? Toh orang-orang luar negeri yang tinggal satu rumah dengan kami tidak ada yang akan mengerti bahasa Indonesia.
Tadinya saya rasa tidak ada yang spesial dengan penggunaan 3 bahasa sekaligus dalam keseharian saya. Tujuh puluh persen bahasa Inggris, dua puluh persen bahasa Jepang, lalu sepuluh persen percakapan dalam bahasa Indonesia. Sampai akhirnya saya mengenal seorang Ibu yang berasal dari Indonesia di toko souvenir di Tokyo Tower. Cukup dengan kalimat tanya : “Ibu, orang Indonesia juga?”
Jauh dari dugaan saya karena beliau kemudian membalas : “Ya ampun, ada orang Indonesia juga? Senang sekali bisa ngomong pakai bahasa Indonesia sama orang lain disini..!”
Demikian percakapan dengan beliau dimulai. Sejujurnya saya heran sendiri, mengapa beliau senang bercakap dengan orang Indonesia di Tokyo? Padahal kan, anaknya sendiri yang sedang menempuh pendidikan S2 di Tokyo masih bisa berbahasa Indonesia?
Kemudian beberapa minggu setelah kedatangan saya di Tokyo, salah satu teman saya dari Indonesia menyusul datang, juga dengan tujuan kerja praktik. Sayangnya kesibukkan saya, teman yang baru datang dan beberapa teman lain berbeda-beda sehingga waktu untuk bertemu pun menjadi sulit. Tapi akhirnya kami berhasil menemukan waktu yang sama di acara festival musim panas di daerah Chiyoda. Di tengah–tengah keramaian orang yang mengenakan pakaian tradisional Jepang, serta hiruk pikuk dengan akhiran vokal yang khas dan haha-hihi berbahasa Jepang, kami berteriak nama masing-masing tanpa imbuhan “san” atau “chan” atau “kun”dan langsung memeluk ketika bertemu.
Sambil berpeluk sapa, teman saya yang baru datang lalu berseru : “Akhirnya gue bisa ngomong bahasa Indonesia di Jepang! Gue bosen banget ngomong bahasa Inggris dan Jepang di kantor!”
Kalimat itu kami tutup dengan tawa .
Beberapa waktu kemudian saya menghadiri acara latihan angklung teman dekat saya yang sudah lebih dulu berdomisili di Jepang. Latihan itu merupakan persiapan penampilan mereka di acara Asean Student Festival yang akan diadakan dalam waktu dekat. Latihan tersebut dilaksanakan di Ruang Olahraga Sekolah Republik Indonesia Tokyo, atau yang biasa dikenal SRIT, di daerah Meguro, Tokyo.
Begitu memasuki SRIT, mendadak saya grogi. Sudah terdengar samar obrolan berbahasa Indonesia. Anehnya saya justru merasa janggal, yakni merasa saya adalah anomali dalam tempat yang seharusnya melebur dengan diri saya. Padahal saya baru satu bulan berada di Jepang.
Tetapi akhirnya rasa janggal itu bias seiring pertemuan dengan teman dekat saya dan beberapa teman lainnya yang kemudian menjadi akrab dengan saya. Bukan kesamaan minat atau jurusan yang menyatukan pertemanan baru tersebut, tapi sebuah bahasa yang sudah tertanam di sanubari masing-masing, yakni bahasa Indonesia.
Di hari Minggu yang mendung itu pun masih saya ingat bagaimana akhirnya seorang pelayan di restoran okonomiyaki di daerah Omotesando menghampiri saya yang hendak mengambil foto teman-teman saya. Ia berkata : “Sini, saya bantu ambilkan foto?”
Tiba tiba menyeruak rasa haru.Rindu itu muncul juga akhirnya. Antusiasme Ibu yang saya temui di Tokyo Tower akan bahasa Indonesia ternyata bisa juga saya rasakan.
Hingga pada akhirnya saya kembali ke tanah air, bertemu keluarga dan kerabat dekat, menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian saya. Tertawa dan bertukar cerita dengan bebas, tanpa takut ada salah grammar, tanpa takut ada salah ucap. Ini bahasa saya, apapun yang terjadi.
Mungkin sebagian besar dari kita sudah terlanjur terlena dengan penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya seperti Prancis dan Jepang yang seolah terlihat keren, apalagi kalau ditempatkan di media sosial seperti status facebook atau twitter. Atau kerapkali terlanjur bangga karena bahasa-bahasa asing tersebut mengantarkan kita pada prestasi luar biasa berupa beasiswa di universitas ternama di dunia.
Awalnya saya pikir hal tersebut adalah salah dan melunturkan rasa nasionalisme kita sebagai bangsa Indonesia. Tapi setelah kepulangan saya dari Jepang, pikiran saya menjadi lebih terbuka..
Mungkin setiap orang memang akan menemukan caranya sendiri untuk menemukan kerinduannya akan bahasa tanah air, hingga menyadari betapa besar arti bahasa Indonesia itu sendiri bagi diri kita.
Mungkin kita perlu berkelana atau larut dalam euforia penguasaan bahasa lain lebih dulu, hingga nanti ada satu masa kita dengar bahasa Indonesia mengetuk pintu hati, tanpa paksa ia lalu menghadirkan haru. Lantas disanalah kerinduan dan kecintaan bahasa tanah air dapat kita temukan.
Tapi lalu saya berpikir kembali, bukankah akan lebih baik kalau kecintaan itu sepatutnya selalu ada tanpa harus tersamar dulu? Karena kita pun tau, negeri ini memiliki terlalu banyak bahasa daerah, dan yang bisa menyatukan semua aspirasi serta ekspresi ribuan jiwa yang ada hanyalah satu : Bahasa Indonesia.
Sumpah pemuda sesungguhnya bukanlah suatu sumpah selewat angin semata yang hanya jadi formalitas untuk diingat, melainkan sumpah yang sepatutnya tertanam dalam hati masing-masing masyarakat Indonesia, dimana baris terakhirnya berbunyi :
Kami
Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa Persatuan, bahasa Indonesia..
* * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H