Hari pencoblosan untuk agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) rencananya akan dilaksanakan serentak pada tanggal 27 November 2024. Pada tanggal tersebut, masyarakat Indonesia rentang usia 17 tahun ke atas diharapkan menggunakan hak pilihnya untuk menentukan Calon Bupati, atau Calon Wali Kota, hingga Calon Gubernur.
Sebagaimana aturan yang telah ditetapkan oleh KPU RI, setiap calon berhak melakukan kampanye terhitung sejak tanggal 25 September hingga 23 November 2024. Maka dalam rentang waktu itu pula, masyarakat disuguhkan dengan banyaknya atribut kampanye partai politik sepanjang jalan dan aksi blusukan beberapa kandidat di lapangan.
Beragam cara dapat dilakukan oleh para kandidat untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Namun dengan catatan tidak menjalankan aksi kampanye hitam atau politik uang. Dua hal itu telah ditetapkan sebagai pelanggaran dalam proses politik di Indonesia serta pelanggaran moral secara sengaja. Masyarakat sebagai partisipasi pemilih mempunyai peran vital untuk menentukan kandidat mana yang akan maju dan terpilih sebagai pemimpin di berbagai level.
Demi terpilihnya pemimpin yang berkeadilan dan demokratis, maka perlu perspektif atau cara pandang yang lebih luas dan kritis dibangun di tengah masyarakat. Penalaran kritis itu hanya dapat diaktifkan dengan cara berlogika. Setiap orang memang sudah berupaya untuk berpikir dalam setiap aktivitasnya. Tapi yang menjadi pertanyaan apakah cara berpikir itu sudah sesuai dengan kaidah-kaidah logika?
Utilitas vs Validitas
Sebenarnya logika sudah ada pada diri setiap orang. Logika adalah panduan untuk menjalankan mekanisme berpikir. Logika bersifat inheren, bahkan sebelum belajar dasar logika, manusia itu sudah berlogika. Hanya saja belum dapat diidentifikasi apakah sudah sesuai dengan aturan berpikir.
Kesalahan dalam menggunakan logika untuk aktivitas sehari-hari dapat menimbulkan kesalahan berpikir atau logical fallacy. Pengertian kesalahan berpikir dalam buku Anisa Listiana yang berjudul Logika adalah kekeliruan penalaran yang disebabkan karena menyimpulkan yang tidak benar dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan penggunaan bahasa serta penekanan kata-kata secara sengaja atau tidak sengaja.
Penerapan logika dalam berpikir seharusnya dapat menghasilkan bahasa yang mudah dipahami oleh setiap orang. Karena logika pada dasarnya mengembalikan kembali cara berpikir manusia dengan terukur, tegas, lugas, dan valid. Jamak ditemukan di tengah masyarakat bahwa apa yang disebut logis adalah yang memberikan dampak keuntungan dan yang dianggap rugi sudah pasti ditolak. Cara berpikir seperti itu disebut logika utilitas atau logika untung dan rugi.
Tentu penerapan logika tersebut sangat berbahaya apabila selalu dirawat, terutama jelang Pilkada 2024. Apalagi tidak sedikit kandidat dan tim suksesnya menyadari logika utilitas masih sering digunakan oleh para calon partisipasi pemilih. Sehingga aksi sogok-menyogok dan "serangan fajar" dapat dengan mudah diterapkan oleh para kandidat. Logika untung dan rugi harus segera disingkirkan ketika memutuskan berbagai macam persoalan, termasuk dalam memilih calon pemimpin.
Sistem demokrasi di negara Indonesia belum sepenuhnya berjalan maksimal atau sesuai dengan tujuan dan cita-cita awal reformasi. Maka dari itu, perlu pemimpin dan wakil rakyat yang mempunyai kriteria kapabilitas yang logis. Logis dalam hal ini yaitu yang dibangun dari logika validitas. Menerapkan logika validitas bukan berdasarkan gimmick, alat peraga kampanye, spanduk, dan sekedar ajakan untuk memilih kandidat pemimpin.