Mohon tunggu...
Andini Rahayu
Andini Rahayu Mohon Tunggu... Guru - guru, pemerhati pendidikan

Reading, Watching, Enjoying Seafood! Welcome to heaven!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Restitusi: Mengubah Paradigma Guru dan Orangtua dalam Menerapkan Budaya Positif

26 Oktober 2023   15:44 Diperbarui: 26 Oktober 2023   15:48 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Apakah Anda seorang guru atau mungkin orang tua? Bagaimana selama ini kita sebagai orang tua berperilaku? Apakah kita mengambil posisi sebagai guru atau orang tua yang suka menghukum atau malah 'memanjakan' anak dengan puji-pujian, penghargaan dan iming-iming hadiah? Ternyata keduanya berdampak buruk bagi anak. Hukuman seperti kita ketahui sangat menyakitkan dan menimbulkan trauma jangka panjang. Sedangkan penghargaan rupanya tak jauh berbeda dengan hukuman. Penghargaan hanya efektif untuk jangka pendek serta berdampak buruk layaknya hukuman. Penghargaan yang diberikan pada satu anak yang meraih juara di kelas bisa jadi merupakan penghukuman bagi anak yang menempati posisi kedua padahal hanya selisih satu poin nilai. Bayangkan bagaimana perasaan anak yang mendapat peringkat paling akhir melihat temannya dielu-elukan?

     Dianne Gossen dalam bukunya Restructuring School Dicipline menyatakan ada tiga motivasi perilaku manusia. Yang pertama, untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman. Pernah bukan saat bersekolah dulu kita  mengerjakan PR hanya agar tidak kena hukuman dari guru?! Contoh lain misalnya kita menyelesaikan tugas di kantor agar tidak kena tegur atasan. Nah, motivasi ini bersifat eksternal.

     Motivasi yang kedua adalah untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya apa yang bisa saya dapatkan jika melakukannya. Mereka melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan atau imbalan. Misalnya, saya hanya mau mengantarkan suatu dokumen jika saya dibayar. Contoh lain karyawan yang pulang larut karena ingin dipuji atasannya. Motivasi ini juga bersifat eksternal.

     Motivasi yang ketiga adalah untuk menjadi orang yang diinginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang dipercaya. Orang dengan motivasi ini melakukan sesuatu karena hal itu sesuai dengan prinsip  dan nilai-nilai yang mereka hargai. Misalnya anak yang disiplin dan mandiri belajar karena memiliki target untuk berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri tahun depan. Atau misalnya karyawan yang datang tepat waktu karena menghargai waktu dan percaya bahwa disiplin waktu sesuai dengan norma agama yang dipercayanya. Nilai-nilai inilah yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif dalam dirinya. Perilakunya didasari oleh hal-hal yang bersifat internal bukan eksternal. Motivasi inilah yang harus digali dari seorang anak oleh kita sebagai guru maupun orang tua. Bayangkan jika keinginan untuk belajar anak berasal dari dalam dirinya sendiri. Betapa banyak usaha yang dilakukannya untuk memenuhi haus dahaganya akan ilmu.

     Sayangnya banyak dari kita, baik sebagai guru maupun sebagai orang tua, mengambil posisi kontrol yang kurang tepat terhadap anak. Sebagian dari kita lebih cepat menghukum dari pada menguatkan anak. Lebih sering menjanjikan dan mengiming-imingi anak daripada memberikan kesempatan menggali keyakinan dan kesadaran anak akan kemampuan dirinya.

     Menurut Doktor William Blazer ada lima kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan dasar inilah yang mungkin menjadi alasan perilaku seseorang. Kebutuhan dasar itu antara lain kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kebutuhan untuk merasa diterima (love and belonging), kebutuhan akan kebebasan (freedom), kebutuhan akan kesenangan (fun), dan kebutuhan akan penguasaan (power). Sebagai guru, kita mesti memahami jika ada murid yang sering menghabiskan bekal makan temannya di kelas tentu kebutuhan dasarnya akan survival belum terpenuhi. Mungkin setiap pagi ia tidak sarapan, atau mungkin tidak ada makanan yang bisa di makan. Di sinilah kepekaan guru diasah. Tak perlu naik darah jika kita menemukan salah seorang murid kita di kelas terlihat gelisah, tidur-tiduran, atau usil mengganggu temannya. Dapat dipastikan bahwa kebutuhannya akan kesenangan belum terpenuhi. Mungkin teknik pembelajaran kita yang membosankan atau bisa jadi materi yang diajarkan bukan hal yang menantang bagi anak tersebut. Sekali lagi kita sebagai guru mesti kritis untuk mencari tahu kebutuhan dasar apa dari si anak yang belum terpenuhi.  

     Saat anak melakukan kesalahan atau pelanggaran, alih-alih langsung mengambil posisi kontrol sebagai penghukum, kita selaku orang tua atau guru dapat memilih opsi lain yang lebih berdampak. Ada lima posisi kontrol yang biasa dipakai orangtua atau guru dalam mendisiplinkan anak menurut Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) yaitu penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau, dan manager. Seperti yang kita ketahui bersama, hukuman akan meninggalkan dendam pada anak.  Anak mungkin akan berlaku agresif sehingga sebisa mungkin kita sebagai orang tua jangan menjadi si penghukum. Tak sedikit pula orang tua atau guru yang membuat anaknya merasa bersalah.  Hal ini akan membuat anak menilai dirinya buruk dan merasa tak berharga. Kadang pula orang tua atau guru menganggap dirinya teman bagi si anak. Posisi teman pada guru bisa positif bisa negatif.  Anak akan merasa nyaman, tetapi biruknya anak akan selalu bergantung pada guru tersebut. Pemantau artinya mengawasi. Guru atau orang tua pada posisi pemantau biasanya berdasar pada konsekuensi atau peraturan yang berawal dari teori stimulus-respon yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid. Posisi manager adalah posisi ideal  yang direkomendasikan. Guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentunya dengan bimbingan guru.

     Saat anak melakukan kesalahan atau melanggar aturan, guru dapat mengambil posisi kontrol manager, dan merancang sebuah tahapan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Restitusi ini adalah suatu proses dialog yang dijalankan oleh guru atau orang tua agar dapat menghasilkan murid yang mandiri dan bertanggung jawab. Pada saat guru di posisi manajer aspek yang dikembangkan adalah motivasi intrinsik sehingga penanaman nilai-nilai kebajikan dapat tumbuh dan berkembang menjadi suatu kebiasaan positif yang akhirnya membentuk karakter murid. Proses dialog terdiri dari tiga langkah yang digambarkan pada ketiga sisi pada segitiga restitusi yaitu menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan.

     Saat anak melakukan kesalahan, jangan langsung mengkritik anak. Karena ia berada pada identitas  gagal. Kita stabilkan dulu identitasnya menjadi identitas sukses dengan melontarkan pernyataan-pernyataan, bahwa membuat kesalahan adalah hal yang manusiawi dan kita bisa memperbaikinya. Jangan fokus pada kesalahannya tetapi fokus pada bagaimana perbaikan dapat dilakukan. Selanjutnya kita sebagai orang tua atau guru dapat menvalidasi tindakan yang salah. Ingat pada bagian ini kita sebagi guru atau orang tua bukan membenarkan atau membela kesalahan anak tetapi melandaskan pada prinsip bahwa setiap perilaku berupaya memenuhi suatu kebutuhan tertentu. Kita dapat menanyakan apa alasan yang mendasarinya dan membuat pernyataan bahwa mungkin anak melakukannya karena mempertahankan sesuatu lalu menanyakan kesediaannya untuk mempelajari perilaku lain yang lebih efektif.   Setelah anak mendapatkan identitas suksesnya dan perilaku yang salah telah divalidasi, maka anak siap mengaitkan keyakinan-keyakinannya dengan tindakannya yang salah. Kita dapat melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar apa cita-citamu, nilai-nilai apa yang telah kita sepakati, sebagai keluarga atau kelas apa yang kita yakini, serta  gambaran ideal seperti apa yang ada di benakmu? Jika anak membolos pelajaran, kaitkan dengan cita-citanya, apakah sudah sesuai dengan profesi impiannya yang menuntut kedisiplinan tinggi. Diharapkan akan tumbuh kesadaran akan nilai-nilai positif pada diri anak karena berkaitan dengan  keyakinan yang dipercayainya.

     Merupakan tanggung jawab besar seorang guru untuk menciptakan suatu lingkungan positif yang terdiri dari warga sekolah yang saling mendukung, saling belajar, saling bekerja sama sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan baik yang membentuk karakter-karakter baik warga sekolah dan pada akhirnya karakter-karakter dari kebiasaan-kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya positif. Mari kita ciptakan sekolah menyenangkan yang ramah anak dan dimulai dengan menumbuhkan motivasi intrinsik guru dan murid untuk mewujudkan nilai-nilai positif diri. Hal ini sejalan dengan Standar Nasional Pendidikan (Standar proses Pasal 12) bahwa lingkungan positif sangat diperlukan agar terwujud pembelajaran berpihak pada murid. Pelaksanaan pembelajaran haruslah dalam suasana belajar yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi untuk berpartisipasi aktif, dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai bakat minat dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun