Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata pariwisata? Bagaimana tanggapan kita terkait dengan destinasi pariwisata? Sejauh mana pemahaman kita terkait dengan pariwisata? Apakah dampak yang ditimbulkan dari pariwisata lebih membawa kesejahteraan dan kebaikan bagi pembangunan masyarakat atau sebaliknya? Semua pertanyaan ini dapat menjadi refleksi kita bersama dalam memahami seperti apa pariwisata dan pembangunannya dalam mempengaruhi masyarakat sekitar. Sering kali pariwisata hanya dipahami pada tataran permukaan tanpa melihat kedalaman dari pariwisata itu sendiri. Sebuah pertanyaan yang cukup menggugah pemikiran apakah pariwisata merupakan industri bisnis yang terkomersialisasi atau hanya sekedar wahana pembangunan masyarakat tanpa orientasi profit?
Pernahkah kita melihat kedalaman dari sebuah sektor pariwisata dan dampak seperti apa yang sering ditimbulkan? Begitu kompleks unsur yang terbangun sehingga kita hanya dapat melihat dari satu sisi tanpa memperhitungkan sisi lainnya. Pariwisata sendiri sebenarnya merupakan persoalan sosial kebudayaan yang bukan saja masalah ekonomi melainkan lebih kompleks daripada itu. Sektor pariwisata telah menjadi salah satu mode produksi sebagian besar warga dunia. Proses berwisata dan menerima wisatawan akan memunculkan perubahan besar bagi keduanya. Akibat yang ditimbulkan dari pembangunan pariwisata akan dirasakan oleh sebagian besar lapisan masyarakat.
Pada era modern, pariwisata mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat terbuka sampai dengan masyarakat terpencil. Pariwisata saat ini telah membentuk institusi dan kebudayaan baru di berbagai belahan dunia. Pada hakekatnya pariwisata bukan merupakan hal yang ekslusif, melainkan sebuah wahana terbuka yang dapat dibangun oleh berbagai ras, bangsa, maupun etnik di belahan bumi dengan kebudayaan dunia. Untuk itu diperlukan pemahaman aspek sosial budaya dalam pembangunan pariwisata. Hal tersebut untuk mencegah terjadinya konflik-konflik kepentingan yang bermain di dalam sektor tersebut.
Mengapa demikian? Hal demikian disebabkan pariwisata merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terhadap konflik, terlebih konflik kepentingan yang bermain. Sering kali kita lihat sektor pariwisata seperti dua mata pisau yang mempunyai good news and bad news yang mengiringinya. Good news identik dengan wilayah yang potensial untuk pembangunan pariwisata, sedangkan bad news dalam pariwisata terletak pada pengelolaan dan travel yang bermain di dalamnya. Dampak negatif sering kali mewarnai dunia pariwisata.
Dampak pembangunan pariwisata terlihat dari perebutan kue distribusi pariwisata, pergulatan pembangunan pariwisata yang tidak berkesudahan, maupun pengelolaan yang sering diwarnai pertengkaran antar berbagai pihak. Masyarakat lokal pun sering menjadi "korban" dalam permainan kepentingan ini. Marginalisasi menjadi kata yang pas dalam penggambaran masyarakat lokal yang terdampak dalam pembangunan pariwisata. Di sini dibutuhkan transformasi yang luas terkait kesiapan masyarakat lokal untuk menjadi "pelayan" sehingga masyarakat dapat mengembangkan dirinya secara baik. Ikutserta dalam pembangunan pariwisata. Hal demikian disebabkan karena wisata bukan hanya tergantung pada turis belaka, Â melainkan juga kontribusi masyarakat lokal perlu diperhitungkan untuk menyambut pembangunan pariwisata (penerima tamu).
Pemikiran terkait segmented tourism perlu diperhatikan. Di mana hal tersebut membuat sektor pariwisata lebih berkelanjutan dengan tidak mengubah masyarakat lokal menjadi orang lain. Dengan kata lain memberdayakan potensi lokal tanpa membuat perubahan yang signifikan terhadap kelestarian lokal yang ada. Seorang antropolog Malinowski (1922) berpendapat bahwa, "To grasp the native's point of view, his relation to life, to realize his vision of his world." Dapat diartikan dalam konteks pariwista yaitu kontribusi atau pandangan masyarakat lokal sangat diperlukan dalam pembangunan pariwisata sehingga marginalisasi dapat diminimalisir. Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara lebih luas dan intensif karena kebudayaan menjadi unsur penarik bagi wisatawan.
Pandangan di atas akan membentuk persoalan we-ness (kekitaan) dan other-ness or their-ness (kemerekaan) atau antara insiders (orang dalam) and outsiders (orang luar) perspektif. Perspektif ini berfungsi untuk penganalisis persoalan-persoalan dalam dunia pariwisata dan mencoba mengklasifikasikannya agar mudah untuk pencarian solusi dalam permasalahan yang timbul akibat dampak dari pembangunan pariwisata. Selain itu pendekatan budaya juga diperlukan untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Budaya dan potensi lokal perlu diikutsertakan dalam hal ini. Setiap daerah pariwisata memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga  tidak ada copy paste dalam pembangunan pariwisata. Demikian sebab setiap daerah pelaku pembangunannya berbeda.
Copy paste yang dimaksud dalam konteks pariwisata sebagai contoh terletak pada ide pembangunan pariwisata di daerah A mutlak tidak dapat diterapkan pada daerah B. Tidak mungkin pembangunan tambak pada wisata pantai dapat diterapkan pada daerah pengunungan. Maka dari itu setiap pembangunan wisata perlu melihat potensi apa yang  ada sehingga sasaran pembangunan yang diterapkan sesuai untuk wilayah tersebut. Pendekatan budaya, perhitungan kuantitas atau kualitas pembangunan pariwisata, dan upaya mengikutsertakan masyarakat lokal menjadi kunci pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Dalam kajian antropologi pariwisata menyebutkan bahwa perspektif  kebudayaan dan pendekatan masyarakat adalah hal sentral dalam  pembangunan dan pemberdayaan pariwisata lokal. Selain daripada sektor pariwisata merupakan hal yang sensitif, sektor ini juga mengundang banyak konflik apabila penanganannya tidak sesuai dengan apa yang ada (must use a lokal approach). Dengan adanya pendekatan yang tepat dalam pengelolan dan pembangunan pariwisata, konflik kepentingan dalam pariwisata dapat diurai dan dicarikan solusi tepatnya. Pembangunan pariwisata berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat lokal untuk mencapai sejahtera adalah usaha bersama. Usaha yang harus dilakukan secara terus menerus dan perjuangan tiada henti untuk mendapatkan kata "berdaya" dan "sejahtera" utamanya bagi masyarakat lokal yang terdampak dari pembangunan pariwisata yang politis.