Pagi itu, suara deburan ombak menyambut Dimas yang baru saja pulang sekolah. Di tangan kirinya, ia membawa tas lusuh yang sudah beberapa kali ditambal ibunya. Pandangannya menerawang ke laut, seolah mencari jawaban dari beban yang terus menghimpitnya.
Di usia lima belas tahun, Dimas sudah tahu apa artinya tanggung jawab. Ayahnya, Pak Jaka, jarang pulang membawa hasil tangkapan yang memadai. Ibunya, Bu Siti, mengelola warung kecil yang sering sepi pembeli. Untuk membantu perekonomian keluarga, Dimas bekerja serabutan setelah pulang sekolah.
"Dimas, makan dulu, Nak," panggil Bu Siti dari depan gubuk mereka yang sederhana. Wanita itu membawa sepiring nasi dengan lauk ikan kecil. "Habis itu bantu Ibu di warung, ya."
"Iya, Bu," jawab Dimas sambil tersenyum kecil. Namun dalam hati, ia tahu sore nanti ia harus bekerja lagi di warung Pak Surya, menjual barang-barang kebutuhan para nelayan.
Belum sempat ia menyuapkan nasi ke mulutnya, suara berat Pak Jaka memecah keheningan. "Dimas! Jangan malas. Kerja! Kalau nggak kerja keras, kita bakal kelaparan!" bentak Pak Jaka sambil membawa jaring sobek yang tadi digunakan melaut.
"Iya, Yah," jawab Dimas sambil menunduk. Ia tahu, melawan hanya akan membuat ayahnya semakin marah.
Sore itu, Dimas berdiri di depan warung kecil Pak Surya. Tangannya cekatan menata barang dagangan, sementara pikirannya melayang pada ibunya yang sedang menjaga warung di rumah.
"Masih kerja terus, Mas?" suara Rian, sahabatnya, memecah lamunan.
"Kalau nggak kerja, siapa yang bantu Ibu?" jawab Dimas sambil tersenyum tipis.
"Tapi Ayahmu terlalu keras sama kamu," kata Rian dengan nada prihatin. "Kamu nggak harus pikul semuanya sendiri, Mas."
Dimas hanya terdiam. Baginya, apa yang ia lakukan adalah bentuk baktinya kepada keluarga. Meski tubuhnya lelah, ia merasa hatinya lega setiap kali bisa membawa pulang uang untuk ibunya.