Mohon tunggu...
Andini Latifatunnisa
Andini Latifatunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - pelajar/mahasiswa

hobi menulis dan membaca dan memasak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Ombak dan Luka

1 Januari 2025   00:26 Diperbarui: 1 Januari 2025   00:26 1
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, suara deburan ombak menyambut Dimas yang baru saja pulang sekolah. Di tangan kirinya, ia membawa tas lusuh yang sudah beberapa kali ditambal ibunya. Pandangannya menerawang ke laut, seolah mencari jawaban dari beban yang terus menghimpitnya.

Di usia lima belas tahun, Dimas sudah tahu apa artinya tanggung jawab. Ayahnya, Pak Jaka, jarang pulang membawa hasil tangkapan yang memadai. Ibunya, Bu Siti, mengelola warung kecil yang sering sepi pembeli. Untuk membantu perekonomian keluarga, Dimas bekerja serabutan setelah pulang sekolah.

"Dimas, makan dulu, Nak," panggil Bu Siti dari depan gubuk mereka yang sederhana. Wanita itu membawa sepiring nasi dengan lauk ikan kecil. "Habis itu bantu Ibu di warung, ya."

"Iya, Bu," jawab Dimas sambil tersenyum kecil. Namun dalam hati, ia tahu sore nanti ia harus bekerja lagi di warung Pak Surya, menjual barang-barang kebutuhan para nelayan.

Belum sempat ia menyuapkan nasi ke mulutnya, suara berat Pak Jaka memecah keheningan. "Dimas! Jangan malas. Kerja! Kalau nggak kerja keras, kita bakal kelaparan!" bentak Pak Jaka sambil membawa jaring sobek yang tadi digunakan melaut.

"Iya, Yah," jawab Dimas sambil menunduk. Ia tahu, melawan hanya akan membuat ayahnya semakin marah.

Sore itu, Dimas berdiri di depan warung kecil Pak Surya. Tangannya cekatan menata barang dagangan, sementara pikirannya melayang pada ibunya yang sedang menjaga warung di rumah.

"Masih kerja terus, Mas?" suara Rian, sahabatnya, memecah lamunan.

"Kalau nggak kerja, siapa yang bantu Ibu?" jawab Dimas sambil tersenyum tipis.

"Tapi Ayahmu terlalu keras sama kamu," kata Rian dengan nada prihatin. "Kamu nggak harus pikul semuanya sendiri, Mas."

Dimas hanya terdiam. Baginya, apa yang ia lakukan adalah bentuk baktinya kepada keluarga. Meski tubuhnya lelah, ia merasa hatinya lega setiap kali bisa membawa pulang uang untuk ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun