Mohon tunggu...
Andini Assayyida
Andini Assayyida Mohon Tunggu... -

biasa saja.. lahir, Gowa 11 Ramadhan, 22 Fenruari 1994.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhir Skenario Hati

27 September 2011   17:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:34 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Payung kak…payung” seorang anak kecil, tingginya kira–kira tak cukup semeter. Berdiri menggigil dengan membawakan sebuah payung yang beratnya hampir sama dengan berat badannya. Dia berdiri tepat di hadapan gadis itu, ditataplah anak kecil itu dengan hati sedikit kaget, “iya adek, sini kakak mau ojek payung”dia menerima tawaran anak pembawa payung itu seraya mengambil payung sambil merangkul tubuh kecilnya. Setia anak kecil itu mengantarnya sampai kira-kira 300 meter karena jarak toko buku dengan rumah sang gadis tidak begitu jauh.. Tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di depan rumah sang gadis.

“Makasih ya de’., ini ongkosnya!” diulurkan tangannya ke atas telapak tangan anak pembawa payung itu dengan uang Rp.5000 tak ketinggalan permen lollipop yang ada di saku roknya yang agak basa. Senyum mungil anak itu membuatnya mengerti akan hati anak kecil itu. “Dimana ibu ayahmu, nak?” suara hati berbisik dan menganggu pikiran si gadis saat itu.

****

Gibrana Nur Azizah. yah! Itulah namanya. Seorang mahasiswi semester tiga kini sedang duduk di fakultas hukum islam Universitas Negeri Yokyakarta, yang sedikit kaget dengan kehidupan bebas sebab 6 tahun telah ia lalui di pondok pesantren, tak heran jika dia kaget ketika dia harus melewati hari-harinya di kehidupan sebebas ini. yah hidup bebas yang tidak sebebas waktu dia hidup di pesantren.

Banyak fenomena kehidupan yang asing buatnya yang ia tangkap, baik yang ia lihat dan dia rekam di sekitarnya, lewat televisi, maupun di surat kabar yang membuatnya menyimpulkan bahwahidup ini begitu ‘aneh’.

****

Terselesaikanlah shalat magribnya yang disusul dengan memuja ayat firman Allah dalam Al-Qur’an kecilnya. Tak berapa kemudian ia beranjaktuk santai sejenak sambil menunggu ibu, ayah, dan mbak Sari sang kakak pulang dari aktifitasnya yang segudang itu. Ayahnya salah satu pengusaha sukses di Yogya, begitu pula dengan mamanya, wanita karier yang sedang jaya. Mereka seakan lupa kalau mereka berdua punya rumah dan 2 orang anak. Beginilah setiap hari yang Ana jalani sepulang kuliah. Ana adalah orang terakhir yang mengunci pintu di pagi hari dan orang pertama yang membuka kunci rumah di sore hari. Entah sampai kapan Ana harus jalani hidup dengan keluarga yang mungkin tak pernah ada waktu tuk berkumpul.

Diraihnya remot televisi di atas meja, “Fonis 5 bulan penjara harus dirasakan oleh ibu Supani. Seorang nenek tua yang telah mencuri tiga biji kakao milik seorang pengusaha kakao di desa Mekar Sari. Minggu, 19 Desember 2009, Pengadilan Negeri SoloJawa Tengah, menetapkan ibu Suparni 76 tahun ini sebagai terdakwa kasus pencurian 3 biji kakao dan menjalani 5 bulan penjara, demikianlah breaking news sore ini”. Refleks ia matikan televisi yang tengah menyala dan menyiarkan berita yang membuatnya lemas seketika, lengkap dengan bibir merahnya yang tak bisa berkutip. “Mencuri 3 biji kakao, nenek separuh baya itu harus dihukum 5 bulan penjara??! Astagfirullah ya Allah..!!”

“Dimana penegak keadilan? Bagaimana bisa pencuri 3 biji kakao disamakan dengan orang yang bejat, keparat, serakah dan munafik koruptor itu? Tak habis pikirku melihat kenyataan yang begitu kejam. Begitupula dengan pengusaha sombong itu, yang membuat nenek separuh baya itu mendekap di penjara, masih ada saja orang seperti dia?? Ikhlaskan kenpa sih!!”. Tak berhenti hatinya protes dengan keadaan. Jengkel, kecewa, marah menjadi 3 in 1dalam dadanya. Sungguh dunia ini makin hari makin gila, stress, apalagi si penghuninya. Hingga saat ini Ana masih bertanya-tanya penting manakah penegak hukum atau penegak keadilan?.“Ana, bukain pintunya!” Suara mbak sari membuyarkan lamunan.

****

Adzan subuh telah pecah dari mesjid, memintanya tuk menjalankan amalan pertama hari ini. Maha agung Gusti Allah yang mematikan serta menghidupkan sesuatu. Ana melanjutkan tuk membaca ayat-ayatNya sebagai tanda syukur dan zdikrillah atas kesadaran yang diberikan Allah kepadanya untuk menjadi pelayan kecilNya.

“Na, sebentar setelah pulang kuliah, mama minta tolong, kamu singgah di rumah bu Reni untuk ambil jatah arisan mama untuk minggu ini. Awas jangan sampai lupa! Itu bukan uang sedikit, uang itu akan mama stor untuk mutiara perhiasan mama di butik! Awas jangan sampai lupa!”. Ana diam saja untuk tanda deal ke rumah tante Reni. Sebenarnya Ana malas ngurusin hal kayak gini, di pikiran mama Cuma disesakkan oleh masalah duniawi saja. Bosan ku melihat aktifitas mama yang hanya menghasilkan uang yang banyak. Seraya Ana pandangi perhiasan yang telah memenuhi setiap bagian tubuh mamanya, yang tak pernah mau tuk di sedekahkan buat saudara-saudara di luar sana.

****

Waktu menunjukkan pukul 04.00 pertanda kuliah hari ini selesai. Ana menyusuri koridor kampus yang makin lama makin sepi saja. Kakinya terhenti seketika mendengar suara di balik dinding.Ditajamkan pendengarannya, tampak sebuah jeritan. “Yah itu adalah sebuah jeritan. Tapi, jeritan siapa? Apa yang membuat laki-laki itu sampai menjerit seperti itu. Kayaknya dia kesakitan”. Sejenak Ana menajamkan lagi pendengarannya, dan “Astagfirullah, suara pukulan? Ya Allah apa yang terjadi?”. Seru hatinya kaget, Ana memberanikan diri untuk melihat apa yang telah terjadi, “astagfirullah..!!”. Belum sampai 10 detik dia lihat apa yang terjadi di kelas itu, ia memutuskan menyudahi apa yang telah dilihatnya.

Sebuah pisau di tusukkan berulang kali ke tubuh pemuda itu oleh 2 orang laki-laki. Pemuda itu babak belur dan dalam waktu beberapa detik pemuda itu sudah tak bergerak.”ya Allah, aku baru saja melihat sebuah pembunuhan! Astagfirullah!!” bibirnya tak berhenti tuk beristigfar. Itu pembunuhan! “Apa yang musti ku lakukan ya Allah?”. Seribu langkah kakinya berusaha menjauh dari lokasi itu, dan lama kelamaanakhirnya dia berlari di tengah hujan deras. Patung-patung khas wayang jogja, seakan heran melihat tubuh mungil Ana berlari kebingungan. Menyusuri jalan raya dan Bundaran Gaja Madah dengan muka pucat pasih, tangan kakinya gemetar, dan tak sekalipun ia hiraukan air hujan yang telah lama membasahi kemeja birunya.

****

Dear diary..

Dosakah Ini??

Sebelumnya,, seribu maaf ku biarkan mengalir dari dalam hatiku yangjauh hingga menembus ujung penaku ini ya Allah..

Wahai Sang Penciptaku,, Yang Maha tahu.. sekecil apapun niat dalam hati ini. Ku biarkan risalah hati ini, walau hanya sadarku tahu risalah ini hanya bergantung pada ujung awan pertamaMu, namun,, izikan dengan kerendahan dan kelemahan hati,, hamba mengadu sautan teriakan hati ini.

Aku bosan dengan duniaMu ini ya Allah..!! salahkah?? Dosakah jika ku ingin meminta padaMu,, tuk mengangkatku dari dunia ini ya Allah?? Apa yang harus ku perbuat?? Sungguh ku hamba yang sangat lemah tak berdaya!! Akankah ku menebar kerikil tajam demi bumi ciptaanMu yang maha dahsyat ini? Ataukah, kan ku sirami bumiMu ini dengan air mata kemarahan, tumpahan darah kekecewaan?? Ku sangatlah lemah ya Allah, ya Rabbii..

Ku bosan hidup di dunia ini. Aku takut berdosa padaMu… semoga ku bukan termasuk orang yang kufur atas kesaksianku, sebagai sang penyimak,, pendengar,, sekaligus korban anarkis hewan buas dunia ini serta takdir yang sedang menerobos dan berusaha masuk dalam kediamanku..

Harus bagaimanakah aku Tuhan?? Pesimis duduk ramah bersandar di pundakku.. keputusasaan memaksaku berbaring dengannya memakai satu bantal dan selimut hitam yang sama.. Wahai Sang Pemilik segalanya,, izinkan aku bertaubat kepadaMu.. oh Sang Maha Pemaaf, melihat segalanya,, mendengar bisikian kecil nurani ini hingga ku terpuruk jatuh, lemah beserta haru mengantarku tuk mengingatMu Tuhan..

“ Salahkah, jika ku ingin mati melihat dunia ini yang semakin edan saja?! Oh God, Who belongs the peace in our hearts…”

Hamba pelayan kecilMu

Gibrana Nur Azizah, 2009 sekarat akhir tahun.

Air matanya jatuh, butiran bening ini membuat matanya yang sayup itu tampak sembab. Ana menangis sejadi-jadinya melihat keadaan dunia ini. Ia sadar, tak seharusnya dia bersikap seperti ini namun, apa boleh buat hati dan perasaannya yang lembut, putih bagai kapas itu sudah tak tahan dengan keadaan ini. Dia bosan. Segera ia basuh air wudhu penenang hatinya namun, tetap saja kejadian-kejadian yang ganjal itu membuatnya takut.

“Ana, dimana kau? Sudah kau ambilakan uang mama kan?”. Suara mama memecahkan keheningan kamarnya. Dia akhiri lamunan tuk melangkah berat ke arah pintu kamar tuk menyambut mama, “ ma..ma..maaf ma, Ana belum sempat ngambil uang mama”. Tiba-tiba mama bersuara, “apa? Mamakan sudah wanti-wanti, awas jangna lupa! Kamu memang ndak punya telinga, Ana! Dasar anak bodoh, besok itu mama sudah harus pakai perhiasan mama untuk acara peresmian butik mama yang baru. Aduh! Kalau uang itu ndak ada, bagaimana mama bisa bayar. Pakai dengkulmu? Dasar kamu!! Asal kamu tau, mama tidak pernah terlamabat ongkosi kuliahmu itu yang tidak ada gunanya, semuanya agama, agama, agama melulu, memangnya agama bisa dimakan? Buat orang jadi kaya? Dasar anak bodoh!”. Serasa ia ingin memulai tangisannya lagi setelah mendengar perkataan mama yang menghujatnya seperti itu, memang dari awal semenjak Ana masuk kuliah, semua keluarganya, papa, mama, mbak sari tak pernah setuju dengan jurusan yang ia ambil. Namun, apa boleh buat, Ana masih ingin mendapat kasih sayang Allah. “cukup mama! Mama sudah kelewat batas, sadarlah ma, Allah Maha mendengar setiap kata-kata mama itu, mama keterlaluan! Asal mama tahu, Ana tak pernah sedikitpun bangga dengan apa mama dan papa lakukan. Menghambur-hamburkan uang, mencari kekayaan tanpa henti, sekali lagi Ana tak bangga dengan semua itu, punya orang tua yang menghamba pada harta, dunia yang fana dengan racun pembunuhnya!”.

Belum sempat ia menyambung perkataannya, mama telah memotongnya dengan segudang omelan yang membuat Ana makin terpojokkan hanya karena urusan duniawi yang bagai racun tikus baginya. “Dasar kamu! Anak tak tahu di untung, bodoh tolol!”. Segera telapak tangan mama mendarat di pipi kanannya. Ana berlari meninggalkan mama dengan berlari masuk ke kamar. Tak pernah ia rasakan kebingungan seperti ini.” Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” teriak dalam hatinya .

****

Pikiran kalut menyelimuti pikirannya pagi ini. Semua terasa sangat menyiksa, pikirannya belum reda tentang pembunuhan yang ia saksikan, kini sang gadis lembut, kemayu namun malang ini punya masalah dengan mamanya, sosok yang ia harus hormati dalam hidupnya. Sebenarnya, Ana merasa bersalah dengan apa yang telah ia perbuat ke mamanya. Bagaimanapun jeleknya mama, dia sadar bahwa dari rahimnyalah dia bisa merasakan hidup, bernapas, serta bahagianya dapat memuja kebesaran dan bayang-bayang Sang Rabbi, dan tadi malam ia berseteru hebat.

“Aarrhhh! Aku anak durhaka! Kepalaku pening”. Kacau balau, pikiran jernih sudah tak ingin berdiam dalam kepalanya. Segera ia berlari pergi dari rumah menuju kampus. Ia melangkah menyusuri satu per satu anak tangga kampus. Bening air matanya terhempas oleh angin pagi itu yang menjadi penjelas jiwanya yang terguncang.

“ Akhir tahun ini, kembali diisi oleh kasus bunuh diri. Kamis, 31 Desember tepatnya di kampus Universitas Negeri Yogyakarta, seorang mahasiswi ditemukan tergeletak tak bernyawa. Di duga ia tewas akibat melompat dari gedung lantai 3. Demikian sekilas info.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun